Auditorium Universitas Veteran Bangun Nusantara menjadi saksi dari diskusi dinamis yang diadakan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Solo Raya. Diskusi bertajuk “Makan Bergizi Gratis: Hanya Sekedar Pemaksaan Janji Manis?” menghadirkan beragam perspektif kritis dari para pemantik, dengan fokus pada kebijakan pemerintah terkait program makan bergizi gratis (MBG). Diskusi ini dihadiri oleh mahasiswa, aktivis, hingga praktisi UMKM, yang menyoroti keefektifan, transparansi, dan dampak dari program tersebut.
Program Besar, Indikasi Janji Manis dan Jadi Ruang Korupsi?
Banu Aji Wicaksono, Presiden Mahasiswa Universitas Veteran Bangun Nusantara, membuka dengan tajam. Menurutnya, program MBG justru memperburuk Kondisi saat ini karena besarnya dana yang digelontorkan tanpa kesiapan sistemik. Ia mencontohkan Sukoharjo, salah satu wilayah pelaksanaan awal, yang mengalami insiden keracunan makanan. "Sistem yang belum matang dan di paksakan hanya akan menimbulkan masalah baru," tegas Banu.
Trio Muhammad Sholeh, Menteri Aksi dan Propaganda BEM Universitas Slamet Riyadi, menambahkan bahwa fokus program ini masih belum jelas. "Mengapa hanya daerah terjangkau yang mendapat perhatian? Apakah ini hanya formalitas untuk menunjukkan hasil cepat?" ujarnya. Ia juga mempertanyakan transparansi alokasi dana sebesar Rp71 triliun yang dianggap tidak sesuai dengan hasil yang dicapai.
Ridwan Nur Hidayat, Staff Kementerian Luar Negeri Universitas Surakarta menilai program ini sebagai pemenuhan janji politik. "Mengapa uji coba dimulai di kota-kota, bukan daerah pelosok yang lebih membutuhkan perbaikan gizi?" tanyanya. Ia menambahkan bahwa pelaksanaan program ini membuka ruang korupsi yang besar jika tidak diawasi secara ketat.
Burhanudin Rabbani, Staff Kementerian Luar Negeri Institut Islam Mamba'ul 'Ulum menegaskan perlunya transparansi anggaran. "Dana daerah yang dipotong hingga Rp300 triliun harus dipertanggungjawabkan. Pemerintah perlu terbuka terhadap kritik dan saran demi evaluasi program ini," ujarnya.
Terobosan Brilian atau Sekedar Pemaksaan?
Sadam Agusti Dwi Adriyan, Presiden Mahasiswa DEMA UIN Raden Mas Said, menyoroti perlunya prioritas wilayah dalam implementasi MBG. "Daerah seperti Kalimantan dan Papua seharusnya menjadi fokus utama, bukan hanya kota besar," katanya. Ia juga mengkritik distribusi anggaran dan payung hukum yang pasti, dan lebih mempertimbangkan terkait penganggaran MBG dan fasilitas pendidikan yang karena fasilitas pendidikan kurang baik sekitar 50%.
Serlinda Yogi Agustina sebagai Presiden Mahasiswa Universitas Sahid Surakarta menawarkan sudut pandang positif. "Program ini berpotensi besar untuk menurunkan angka stunting di Indonesia. Namun, pengawasan yang berkelanjutan adalah kunci keberhasilan," ujarnya.
Menyambung pembahasan, Arif Sri Wahyudi, Presiden Mahasiswa ISI Solo mengingatkan bahwa masyarakat berhak untuk mengkaji kebijakan ini secara kritis. "Efek kebijakan ini akan terasa langsung di sektor ekonomi dan sosial. Oleh karena itu, masyarakat harus terlibat aktif dalam mengawasi pelaksanaannya," tegasnya.
Pada puncak diskusi, Syaifulloh, Koordinator Pusat BEM Solo Raya, mengajukan pertanyaan reflektif yang memancing diskusi lebih lanjut: "Apakah program ini lebih menonjolkan aspek 'Makan,' 'Bergizi,' atau 'Gratis'?"
Diskusi Dinamis, Picu Tangggapan Aktivis
Menanggapi pantikan diskusi, Wuri Handayani, aktivis senior dari Aliansi Rakyat Bergerak. Ia menyebutkan bahwa anggaran yang semula direncanakan sebesar Rp25 ribu per porsi terpangkas menjadi Rp10 ribu. "Kultur Indonesia yang rentan korupsi seharusnya membuat pemerintah lebih hati-hati. Anggaran sebesar itu lebih baik dialokasikan untuk pendidikan, yang dapat meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya hidup sehat," katanya.
Lamia, pelaku UMKM sektor makanan, menyoroti dampak kebijakan ini terhadap usaha kecil. "Jika program ini dikelola dengan baik, seharusnya bisa menjadi peluang bagi UMKM. Namun, kenyataannya, banyak pelaku usaha lokal yang justru dirugikan karena pengadaan yang tidak transparan," ujarnya.
Diskusi ini dipandu dengan apik oleh Rindi Ani, Menteri Dalam Negeri Universitas Duta Bangsa. Hadir pula Rizal, seorang Aktivis 98, yang turut memberikan perspektif tambahan terkait alternatif pengimplementasian program MBG agar lebih efektif dan efisien.
Melalui diskusi ini, BEM Solo Raya tidak hanya mengkritisi kebijakan pemerintah, tetapi juga hendak mengkaji sebuah masukan konstruktif yang diharapkan dapat menjadi bahan evaluasi bagi para pemangku kebijakan. Diskusi yang berlangsung dengan suasana intelektual ini mencerminkan semangat mahasiswa sebagai agen perubahan yang peduli terhadap keberlanjutan bangsa. (Irfan)