BERITAOPINI.ID, SUMATERA BARAT |Barangkali kita tidak asing dengan kata “JASMERAH!” yang merupakan akronim dari “Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah!”, semboyan ini ialah judul pidato Bung Karno pada Hari Ulang Tahun Negara Kesatuan Republik Indonesia bertepatan pada 17 Agustus 1966. Bila kita menilik lebih jauh, Jasmerah sendiri sesungguhnya merupakan judul yang diberikan oleh Kesatuan Aksi terhadap pidato Presiden, bukan judul yang diberikan oleh Bung Karno.
Dalam pidato tersebut Bung Karno menuturkan bahwa kita mengalami tahun yang gawat dan perang konflik anak bangsa. Pidato tersebut disampaikan pada peringatan kemerdekaan Indonesia, sepanjang 21 tahun revolusi Indonesia penuh dengan dinamika. Sebagai negara yang memiliki sejarah panjang dalam perjuangan pembebasan dari belenggu penjajahan, Indonesia memiliki banyak situs sejarah saksi bisu perjalanan kemerdekaan dari pra hingga pasca. Situs-situs sejarah yang memiliki historical value tersebut merupakan salah satu dari warisan budaya.
Menurut Unesco, warisan budaya terbagi menjadi dua, yaitu: tangible cultural dan intangible cultural. Bentuk warisan budaya yang termasuk dalam tangible cultural adalah seperti monumen, artefak, cagar budaya dan kawasan. Sedangkan yang termasuk dalam bentuk intangible cultural adalah seperti bahasa, ritual dan tradisi.
Cagar budaya sebagai warisan budaya yang bersifat kebendaan atau tangible, berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Undang–Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya menjelaskan mengenai Cagar Budaya yaitu: “Warisan budaya yang bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan”. Dalam hal ini, menurut Pasal 95 ayat (1) UU Cagar Budaya, “Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah mempunyai tugas melakukan Pelindungan, Pengembangan, dan Pemanfaatan Cagar Budaya.”
Salah satu saksi bisu bersejarah di Kota Padang itu adalah Rumah Singgah Bung Karno yang terletak di Jl. Ahmad Yani Nomor 12, Kelurahan Padang Pasir, Kecamatan Padang Barat, Kota Padang. Rumah tersebut merupakan tempat persinggahan Bung Karno selama kurang lebih 3 bulan pada tahun 1942 ketika diasingkan oleh pemerintah Belanda. Awalnya Bung Karno akan dibuang oleh pemerintah Belanda dari Bengkulu ke Luar Negeri.
Ketika akan diberangkatkan ternyata kapal yang akan memberangkatkan Bung Karno rusak, pada akhirnya Bung Karno diperintahkan oleh Pemerintah Belanda menuju Kota Padang. Bangunan ini telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kota Padang melalui Surat Keputusan Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Padang Nomor 3 Tahun 1998 tentang Penetapan Bangunan Cagar Budaya dan Kawasan Bersejarah di Kotamadya Padang serta tercatat oleh Pemerintah Kota Padang dengan nomor inventaris33/BCBTB/A/01/2007.
Namun, bangunan bersejarah tersebut kini telah rata dengan tanah. Yang tersisa hanya sebidang tanah dan cerita masa lampau didalamnya. Lalu siapa yang bertanggung jawab atas perubuhan bangunan bersejarah tersebut? Tentu saja Pemerintah Kota Padang sebagai eksekutor! Pemerintah Kota Padang telah menjadi algojo penghilangan identitas sejarah yang ada di Kota Padang. Seolah-olah Walikota bersama Pemerintah Kota Padang lupa akan tugas dan tanggungjawabnya terhadap perlindungan cagar budaya. Yang menjadi urgensi adalah marwah dari historical value bangunan tersebut turut hilang seiring dengan runtuhnya bangunan tersebut oleh Pemerintah Kota padang yang semena-mena pada cagar budaya tersebut.
Dengan berpedoman pada UU Cagar Budaya, pemerintah daerah yang dimaksud sebagaimana telah dijelaskan pada Pasal 1 ayat (37) meliputi gubernur, bupati, atau walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
Pemerintah daerah adalah pihak yang memiliki tugas sebagaimana yang telah diamanatkan oleh Pasal 95 ayat (1) UU Cagar budaya. Apabila unsur Pemerintah Daerah tidak melaksanakan amanat Pasal 95 ayat (1) dan justru melakukan pengrusakan sebagaimana yang telah dijelaskan pada Pasal 66 ayat (1), maka sesuai dengan Pasal 105 bahwa: “Setiap orang yang dengan sengaja merusak Cagar Budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah”.
Terlebih jika yang melakukan perusakan tersebut adalah pejabat, menurut Pasal 114 UU Cagar Budaya, “Jika pejabat karena melakukan perbuatan pidana melanggar suatu kewajiban khusus dari jabatannya, atau pada waktu melakukan perbuatan pidana memakai kekuasaan, kesempatan, atau sarana yang diberikan kepadanya karena jabatannya terkait dengan Pelestarian Cagar Budaya, pidananya dapat ditambah 1/3 (sepertiga),”.
Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi Republik Indonesia, sudah sewajarnya membawa case ini ke ranah hukum. Tindakan yang dilakukan Pemerintah Kota Padang tergolong tindak pidana perusakan terhadap situs cagar budaya. Walikota harus mempertanggung jawabkan perbuatan perusakan cagar budaya tersebut dimata hukum, agar tercapai kemanfaatan, keadilan dan kepastian hukum. Apa yang hari ini Walikota Padang perbuat adalah bentuk arogansinya yang melupakan, bahkan tidak menghargai (baca: Penghinaan!) terhadap sejarah dan founding father bangsa.
Oleh : Viedro Bernanda F.
Ketua Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Padang
687 Comments