BERITAOPINI.ID, TULUNGAGUNG JAWA TIMUR | Gesekan antarperguruan pencak silat ini timbul karena kesalahpahaman dalam memandang sebuah organisasi lain. Hal itu menurut kacamata sosiologi yang juga menganggap kerusuhan ini tidak bisa dihentikan, tetapi hanya bisa dikurangi atau diantisipasi. Kebijakan pelarangan kegiatan silat dinilai kurang efektif.
Dosen Sosiologi Universitas Islam Negeri Sayyid Ali Rahmatullah (UIN SATU) Tulungagung, Zahid Waris menganggap gesekan ini wajar terjadi karena dalam sebuah organisasi terdapat ideologi. Hal tu pasti berpengaruh dalam basis masanya, apalagi adanya egoisme dari masing-masing oknum silat. Hal itu juga terjadi dalam masyarakat, apalagi dinamis dengan karakter yang berbeda.
“Saya lebih menyebut kerusuhan pencak silat ini kesalahpahaman atau cara memandang sebuah organisasi lain dengan kacamata sendiri atau etnosentrisme. Hal itu akar masalah dari pencak silat yang tidak dipahami ajarannya,” ujar Zahid, Jumat (27/5/23).
Selain itu, dia melihat saat ini banyak ketidakmatangan psikologis dari siswa atau anggota pencak silat. Apalagi, beberapa pelaku kericuhan merupakan anak yang di bawah umur. Maka, masing organisasi silat harus ada ritme yang mengukur psikologis anggotanya. Jika terjadi sebuah gesekan, tidak terjadi benturan, justru duduk bersama mengambil jalan keluar.
Namun, yang terjadi saat ini justru tidak bisa ke tahap konsolidasi itu. Masih di tahap bagaimana mengomunikasikan masalah ini kepada tiap kepala antarperguruan silat. Hal itu sebenarnya baik, tetapi cakupannya kecil karena sebatas orang tidak pernah merasakan konflik dan hanya mendengarkan. Seperti, konflik di ranting tetapi diselesaikan di kabupaten sehingga tidak solutif. Harusnya masalah di ranting selesai di kelompok tersebut.
Apakah ada unsur fanatisme dalam masalah silat ini, Zahid menjawab, faktor itu menjadi hal yang sekian kali. Lantaran fanatisme muncul dari adanya keberanian kelompok atau komunal di perguruan tertentu. Seperti adanya suatu anggota perguruan melempar atribut, hal itu tentu menimbulkan pergesekan. Jika dilakukan antarindividu dimungkinkan tidak terjadi pergesekan.
“Masalah silat ini timbul karena ideologi, lalu fanatisme akan muncul dari masing-masing kelompok itu sendiri. Namun, sebenarnya fanatisme muncul dipancing oleh komunal dan perbedaan cara pandang ajaran,” ungkapnya.
Sementara itu, menurut Zahid, kebijakan polisi terkait pelarangan kegiatan ini ada banyak perspektif. Menghentikan kelangsungan kegiatan organisasi pencak silat di daerah bukan pilihan tepat. Justru jadi ombak besar bagi institusi tersebut. Karena pencak silat sudah menjadi kebudayaan di Indonesia. Tidak hanya organisasi dan ketika dilarang akan berimbas ke hal lain. Ada banyak cara untuk mengurangi gesekan, tetapi meniadakan gesekan itu tidak bisa.
Dari analisisnya, dia mengaku sempat beberapa kali meneliti konflik atau kekacauan di pencak silat. Hal itu dibagi dua. Pertama, dibuat karena untuk melakukan sesuatu dan menutup kasus baru seperti politik atau hal lain sehingga menutup masalah lama. Kedua, konflik itu terjadi secara alamiah dan berhubungan dengan perbedaan cara pandang.
Akhir-akhir ini konfliknya sama di bulan Sura, momen besar, atau perselisihan atribut. Apalagi, para oknum pencak silat diajari bela diri yang ketika pandemi tidak bergerak. Namun, pelampiasan yang keliru bisa terjadi pergesekan. Harusnya lebih bisa mengendalikan dan mengubahnya menjadi atlet untuk bisa berprestasi.
“Maka konflik ini karena berbeda cara pandang. Apalagi, konflik ini lahir di akar rumput. Kasarnya lahir dari orang yang masih kecil, belum mapan, baik dari pendidikan dan mental sehingga menjadi pemicu konflik. Sehingga tidak melibatkan atau dirasakan para petinggi organisasi,” pungkasnya. (Amar Dzaky)