Headline Jawa Timur Kabupaten Pacitan Kesehatan

Pesan IDI Pacitan Terkait Leptospirosis: “Tidak Perlu Saling Menyalahkan. Sudah Saatnya Bergandengan Tangan, Kendalikan Populasi Tikusnya, Temukan Kasusnya, Hentikan Penyebarannya, Sembuhkan Yang Bergejala”

BERITAOPINI.ID, PACITAN | Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Kabupaten Pacitan, ikut angkat bicara berkaitan dengan merebaknya kasus penyakit leptospirosis yang merenggut enam nyawa tersebut. Wakil Ketua IDI Pacitan, Johan Tri Putranto dalam siaran persnya menyampaikan duka cita yang begitu mendalam atas berpulangnya enam warga Pacitan lantaran terjangkiti leptospirosis.

“Menurut data yang kami peroleh dari sejawat dokter yang ada di wilayah, munculnya kasus leptospirosis di Pacitan itu diawali pada tahun 2016,” kata dokter umum, yang juga dipercaya sebagai Kepala UPT Puskesmas Gondosari, Kecamatan Punung, Dinas Kesehatan Kabupaten Pacitan ini, Senin (6-3-2023).

Setiap tahun, lanjut Johan, trend temuan kasus leptospirosis semakin meningkat terutama di musim penghujan. Akan tetapi Case Fatality Rate (CFR), atau angka kematian terbilang rendah.

Hal ini menjadi bukti, bahwa kinerja tenaga kesehatan, diakuinya sangat luar biasa. Tentu semua itu juga tak lepas dari dukungan pemerintah daerah dan seluruh elemen masyarakat serta praktisi media.

Johan menegaskan, leptospirosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri leptospira yang berasal dari kencing tikus. Penyakit ini dapat menular ke manusia dengan gejala yang tidak khas, bahkan sering terlewat dalam diagnosis.

“Pada sejumlah kasus, penanganan yang terlambat bahkan berakibat pada kematian. Berdasarkan data yang dihimpun oleh Kemenkes, terdapat 555 kasus dengan jumlah kematian sebanyak 77 orang disepanjang tahun 2021, meningkat dari tahun sebelumnya dengan 422 kasus dan 49 kematian,” bebernya.

Angka kematian akibat leptospirosis di Kabupaten Pacitan, jauh dibawah angka kematian nasional. Tidak hanya menular ke manusia, penyakit ini juga dapat menular ke beberapa jenis hewan lainnya, seperti Sapi, Kambing, Domba, Anjing, dan Kucing.

Di Indonesia dan negara-negara tropis lainnya, penyakit ini merupakan penyakit endemis, dengan peningkatan kasus terjadi pada musim penghujan.

Tetapi seringkali penyakit ini terlupakan dan tidak terdiagnosis. “Bahkan pengalaman kami saat menempuh pendidikan dokter, baru sekali menemukan kasus leptospirosis pada tahun 2004 di Purworejo Jawa Tengah dan kembali mendapatkan temuan kasus di Kabupaten Pacitan pada tahun 2016. Hal ini dikarenakan gejala klinis penyakit ini sangat bervariasi, mulai dari yang ringan atau tanpa gejala hingga yang mengancam nyawa,” jelas dokter senior ini, pada wartawan.

Masih menurut Johan, gejala utama pada umumnya, yaitu demam akut, diikuti oleh gejala klinis lain seperti flu, sakit kepala, mual, muntah, nyeri perut,nkemerahan pada konjungtiva mata, dan mialgia.nGejala-gejala ini sering dijumpai pada penyakit infeksi akut lain. Seperti demam dengue/ demam berdarah dengue, demam tifoid, malaria.

Hal inilah yang menyebabkan sulitnya pencatatan jumlah kasus leptospirosis. Pada kasus yang berat (Weil’s syndrome), dengan angka kematian yang lebih tinggi, gejala klinis dapat disertai perubahan kesadaran, gangguan ginjal akut, gangguan pernapasan, hipotensi, dan aritmia.

“Weil’s syndrome terdiri dari trias perdarahan, jaundice, dan gangguan ginjal akut. Pasien dapat meninggal karena syok sepsis dengan gagal organbmultipel dan atau komplikasi perdarahan yang paling sering terjadi di paru, saluran cerna, tractus, urinarius dan kulit,” jelasnya.

Sementara itu tak lupa, mewakili IDI Pacitan, Johan menekankan perlunya pencegahan penularan leptospirosis, Yaitu:
1. Berperilaku hidup bersih dan sehat dengan menjaga kebersihan diri terutama setelah beraktivitasndi lokasi yang berisiko terpapar leptospirosis.
2. Memberikan sosialisasi pentingnya menggunakan alat pelindung diri bagi pekerja yang bekerja di lingkungan yang berisiko leptospirosis.
3. Menjaga kebersihan lingkungan sekitar tempat tinggal, supaya tidak menjadi sarang tikus termasuk tempat penyimpanan air, penanganan sampah supaya tidak menjadi sarang tikus.
4. Sosialisasi ke masyarakat tentang bahaya leptospirosis terutama pada kelompok masyarakat yang memiliki resiko tinggi terpapar leptospirosis.

“Kolaborasi dan sinergitas antaran pemerintah daerah dan jajarannya sampai di level kecamatan dan desa, tenaga kesehatan, masyarakat dan rekan-rekan media, sangat penting untuk mengendalikan penyebaran leptospirosis. Semua harus berperan melalui kemampuan dan kompetensi di masing-masing bidang. Tidak perlu saling menyalahkan. Sudah saatnya bergandengan tangan. Kendalikan populasi tikusnya, temukan kasusnya, hentikan penyebarannya, sembuhkan yang bergejala,” pesan Johan. (Red/yun).

1 Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *