Restorative Justice, Laporan Dugaan Kasus Penganiayaan di TDM II Dicabut Keluarga Korban

BERITAOPINI.ID | Nusa Tenggara Timur | Kota Kupang | 08-01-2025

Kasus dugaan penganiayaan yang sempat mengejutkan warga Tuak Daun Merah (TDM) II, Kota Kupang, akhirnya menemui titik terang. Setelah melalui proses mediasi yang panjang, kedua belah pihak, yakni keluarga korban Daniel Eduardus Kofi dan pelaku Ino Naihati, akhirnya sepakat untuk berdamai.

Mediasi ini terjadi pada Minggu malam, 5 Januari 2025, di kediaman korban. Kedua keluarga duduk bersama dalam suasana kekeluargaan dan saling memaafkan atas peristiwa yang telah terjadi. Sebagai bentuk pertanggungjawaban moral, pihak pelaku menyerahkan sanksi adat kepada keluarga korban.

"Kami bersyukur ini masalah bisa selesai dengan baik. Kami juga berterima kasih kepada pihak kepolisian dan pihak terkait yang telah membantu untuk selesaikan dengan damai," ujar Maya Kofi, saudari korban, saat diwawancarai wartawan seusai acara perdamaian.

Maya menjelaskan bahwa keluarga memutuskan untuk berdamai setelah mempertimbangkan berbagai aspek, terutama kondisi kesehatan korban yang tengah dalam proses pemulihan. Selain itu, keluarga juga ingin agar kasus ini tidak berlarut-larut dan dapat segera diselesaikan secara kekeluargaan.

"Kami juga tidak mau masalah ini berlarut-larut. Yang kami mau supaya semua pihak bisa kembali hidup rukun dan damai," imbuhnya.

Senada dengan Maya, Ino Naihati selaku pelaku juga mengaku menyesali perbuatannya dan meminta maaf kepada keluarga korban. Ia berjanji tidak akan mengulangi perbuatan serupa di kemudian hari yang ditandai dengan penandatangan surat pernyataan perdamaian.

"Saya sadar dan menyesal dengan apa yang sudah saya lakukan. Saya berharap keluarga korban memaafkan saya," ujar Naihati.

Sementara itu, kuasa hukum keluarga korban, Januarius Min Tabati S.H. menyambut baik upaya perdamaian yang telah dilakukan oleh kedua belah pihak. Menurutnya, penyelesaian kasus secara restorative seperti ini merupakan langkah yang tepat dalam rangka membangun kembali hubungan sebagai kerabat, keluarga serta tetangga secara harmonis kedepannya.

"Penyelesaian kasus secara restorative ini menunjukkan bahwa hukum tidak hanya semata-mata tentang pembalasan, tetapi juga tentang pemulihan dan rekonsiliasi," ujar Tabati.

Lebih lanjut, Tabati menjelaskan bahwa sanksi adat dalam perkara ini juga tentunya menjadi pedoman apabila ada kejadian yang serupa tentunya ada ruang secara hukum guna mendapatkan haknya melalui restorative justice.

Menurutnya, hal ini bertolak dari pandangan seorang Ahli Hukum, Rudolfus R. Tallan, S.H,. M.H. dalam bukunya yang berjudul "Atoin Meto Justice" yang menyatakan bahwa di dalam proses "taloitan tafani" sebuah perkara, tidak terlepas dari adanya sanksi adat. Sanksi (opat) biasanya berupa ternak, sarung adat (beti), arak (tua), dan uang (loit), untuk pemulihan kesalahan terhadap diri korban.

"Semua persoalan baik perdata ataupun pidana selalu terselesaikan secara damai dan perdamaian itu selalu diikuti dengan opatnya. Opat itu disesuaikan dengan ukuran besar kecilnya kadar kesalahan, " ungkap Tabati.

Ia juga menambahkan, "kami berharap kasus ini dapat menjadi pelajaran bagi kita semua agar lebih berhati-hati dalam bertindak dan senantiasa menjaga kerukunan antar sesama."

Dengan tercapainya perdamaian ini, laporan polisi yang sebelumnya telah dibuat oleh keluarga korban secara resmi dicabut pada Senin, 6 Januari 2025 di Polresta Kupang Kota dengan dihadiri oleh kedua belah pihak. (Nino)