Example floating
Example floating
Example 468x60
BeritaJawa TengahKabupaten Kendal

Mengurai Benang Kusut RKUHAP: Siluet Desain Legislasi di Tengah Krisis Kepercayaan Publik

106
×

Mengurai Benang Kusut RKUHAP: Siluet Desain Legislasi di Tengah Krisis Kepercayaan Publik

Sebarkan artikel ini
Example 468x60

BERITAOPINI.ID KENDAL JATENG | “Hukum pidana itu harus responsif terhadap perkembangan masyarakat. Kalau tidak responsif, akan ditinggalkan.”. Demikian pesan Prof. Muladi, seorang begawan hukum yang turut membidani lahirnya Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) selama puluhan tahun. Di balik cita-cita luhur untuk memerdekakan bangsa dari belenggu hukum kolonial. Namun, kemerdekaan sejati dalam hukum tidak hanya diukur dari asal-usulnya, melainkan dari sejauh mana ia mampu menjamin keadilan, melindungi hak asasi, dan mengakomodasi dinamika masyarakat tanpa membungkam suara-suara kritis. Sejak awal kelahirannya, RKUHP selalu dibayangi kontroversi. Pasal-pasal yang menyentuh ranah privat, kebebasan berekspresi, hingga potensi kriminalisasi terhadap kritik, telah memicu gelombang protes dari berbagai kalangan.

Ranah hukum idealnya adalah mercusuar keadilan, panduan bagi perilaku sosial, dan pelindung hak-hak fundamental warga negara. Namun, ketika Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) kembali mencuat ke permukaan, alih-alih meredakan kegelisahan, ia justru memperkeruh suasana, terutama di tengah krisis kepercayaan publik yang akut terhadap institusi dan produk hukum di Indonesia. Kita perlu mengurai benang kusut RKUHAP ini, bukan hanya dari substansinya, melainkan juga dari akarnya: desain legislasi yang melahirkannya.

Proses legislasi RKUHAP terasa jauh dari ideal. Selama ini, narasi yang dibangun adalah urgensi untuk mereformasi hukum acara pidana yang sudah usang. Namun, “urgensi” ini kerap terasa dipaksakan, tanpa dialog yang memadai dan partisipasi publik yang bermakna. Rancangan yang berulang kali muncul kembali seringkali menyimpan pasal-pasal kontroversial, seperti perluasan kewenangan yang berpotensi melanggar hak privasi, pasal-pasal karet yang mengancam kebebasan berekspresi, hingga prosedur yang bisa mempersulit akses keadilan bagi kelompok rentan. Ini bukan sekadar pasal per pasal, melainkan sebuah pola yang patut dipertanyakan.

Mengapa desain legislasi RKUHAP seolah abai terhadap aspirasi masyarakat? Salah satu benang kusutnya adalah minimnya transparansi dan akuntabilitas. Draf-draf penting seringkali sulit diakses secara utuh, perubahan terjadi tanpa penjelasan yang memadai, dan masukan dari masyarakat sipil atau akademisi terkesan hanya formalitas belaka. Ketika sebuah produk hukum vital bagi kehidupan bernegara dibentuk dalam ruang yang kurang terbuka, wajar jika masyarakat merasa curiga dan kehilangan kepercayaan. Desain legislasi yang baik seharusnya menjunjung tinggi prinsip keterbukaan dan melibatkan seluruh pemangku kepentingan, bukan hanya segelintir pihak di balik meja.

Benang kusut lainnya terletak pada inklusivitas partisipasi. Partisipasi publik seringkali diartikan sebagai sosialisasi searah, bukan dialog dua arah. Kelompok masyarakat sipil, akademisi, praktisi hukum, hingga korban dan kelompok marjinal yang paling terdampak, harusnya menjadi subjek aktif dalam perumusan RKUHAP, bukan sekadar objek yang mendengarkan. Tanpa inklusivitas yang sejati, desain legislasi akan cacat sejak awal, menghasilkan produk hukum yang tidak relevan dengan kebutuhan riil masyarakat dan justru menimbulkan masalah baru.

Di tengah situasi ini, krisis kepercayaan publik semakin menganga. Masyarakat skeptis bahwa RKUHAP benar-benar ditujukan untuk menciptakan keadilan dan penegakan hukum yang lebih baik. Ada kekhawatiran kuat bahwa ia akan menjadi alat baru untuk membungkam kritik, melegitimasi praktik-praktik sewenang-wenang, atau bahkan membelenggu kebebasan sipil yang telah susah payah diperjuangkan. Desain legislasi yang kurang partisipatif dan transparan inilah yang memperkuat anggapan bahwa RKUHAP adalah produk “pesanan” atau kepentingan tertentu, bukan kebutuhan bersama.

Lebih jauh, kecurigaan publik ini bukan tanpa dasar. Pengalaman di masa lalu dengan produk legislasi lain menunjukkan bahwa seringkali ada jurang antara idealisme undang-undang dan praktiknya di lapangan. Ketika RKUHAP dirancang dengan potensi pasal-pasal multitafsir atau pembatasan yang berlebihan, masyarakat khawatir ini akan memperburuk ketidakpastian hukum, membuka celah penyalahgunaan wewenang, dan pada akhirnya merugikan mereka sendiri. Ini bukan lagi soal perdebatan teknis hukum, melainkan tentang apakah negara benar-benar hadir untuk melindungi rakyatnya atau justru menciptakan jebakan baru.

Maka, untuk mengurai benang kusut RKUHAP ini, pemerintah dan DPR harus berani melakukan introspeksi mendalam terhadap desain legislasi yang mereka gunakan. Ini bukan hanya tentang mengubah satu atau dua pasal kontroversial, tetapi tentang merekonstruksi ulang proses pembentukan hukum secara fundamental. Keterbukaan sejati, partisipasi bermakna, dan keberanian untuk mendengarkan kritik adalah kunci untuk membangun kembali kepercayaan publik. Jika tidak, RKUHAP, alih-alih menjadi pedoman hukum yang kuat, justru akan menjadi simbol krisis yang tak kunjung usai. RKUHAP yang lahir dari proses legislasi yang tidak sehat hanya akan memperpanjang daftar masalah hukum dan semakin menjauhkan cita-cita Indonesia sebagai negara hukum yang berkeadilan.

“Kalau hukum sudah jadi alat pukul bukan lagi alat pelindung, itu namanya premanisme berjubah negara. Jangan pura-pura tidak tahu !.”

Opini ditulis oleh Dedi Suryadi (Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Selamat Sri (UNISS) Kendal)

Example 300250

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *