BERITAOPINI.ID OKU TIMUR SUMSEL |Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia.
Baru beberapa hari se usai di lantik, kementerian Keuangan baru saja mengumumkan kebijakan fiskal baru menyalurkan Rp200 triliun dana pemerintah ke bank BUMN untuk kredit sektor riil, serta meluncurkan stimulus Rp16,23 triliun berupa bantuan pangan, cash for work, insentif pajak, hingga subsidi premi asuransi bagi pekerja informal. Sepintas, kebijakan ini tampak pro-rakyat. Namun, bila ditinjau dengan kaca mata Marhaenisme, kita perlu bertanya lebih jauh, apakah rakyat kecil sungguh akan menjadi subjek utama, atau sekadar objek dari kebijakan fiskal?.
Dalam Marhaenisme, petani kecil adalah simbol rakyat pekerja yang punya alat produksi sendiri namun tetap miskin karena terikat sistem yang timpang. Pertanyaannya, apakah kredit Rp200 triliun ini akan benar-benar bisa diakses oleh petani gurem di desa? Atau justru lagi-lagi hanya bisa dinikmati oleh korporasi besar perkebunan dan eksportir yang punya akses ke bank?.
Menurut hemat pikirku, Jika pemerintah serius marhaenis, maka kredit harus dikawal hingga ke petani kecil dengan bunga rendah, tanpa agunan berat, serta pendampingan teknologi pertanian. Lebih jauh lagi, perlu jaminan harga hasil panen agar petani tidak terus diperas tengkulak. Tanpa itu, kebijakan fiskal hanya akan memperkuat kapital besar, bukan rakyat marhaen.
Pekerja Informal Motor Ekonomi yang Terlupakan Stimulus berupa subsidi asuransi untuk pengemudi ojek online dan sopir truk patut diapresiasi. Namun, pekerja informal tidak butuh sekadar subsidi sesaat; mereka butuh jaminan kerja layak, perlindungan sosial permanen, dan pengakuan formal sebagai bagian ekonomi nasional. Dalam logika Marhaenisme, pekerja informal harus dipandang sebagai motor penggerak ekonomi kerakyatan, bukan sekadar sektor “tambahan” yang diberi bantuan darurat.
Program magang dan cash for work bisa memberi nafkah sementara, tapi tanpa reformasi struktural (upah layak, jaminan kesehatan, dan penghapusan praktik outsourcing yang menindas), kebijakan ini hanya menambal luka tanpa menyembuhkan penyakit.
Marhaenisme menolak segala bentuk eksploitasi, termasuk lewat mekanisme ekonomi yang tak kasat mata. Stimulus yang menambah daya beli tanpa menguatkan produksi pangan berisiko menimbulkan inflasi dan lagi-lagi, petani serta buruhlah yang paling menderita akibat harga kebutuhan pokok naik.
Adahal yang meski di garis bawahi, selain itu, bila kebijakan hanya berupa bantuan beras gratis atau uang tunai, rakyat bisa terjebak dalam ketergantungan konsumtif. Marhaenisme menuntut kemandirian rakyat diberdayakan agar bisa memproduksi, bukan terus bergantung pada belas kasih negara.
Menurut hemat pikir saya disini mencoba untuk merekomendasi pokok pikiran jalan marhaen, dan Agar kebijakan Kemenkeu benar-benar marhaenis, setidaknya ada lima 5 langkah penting yang mesti jadi PR Bersama :
1. Kredit khusus petani dan UMKM desa dengan bunga rendah dan tanpa agunan memberatkan.
2. Perlindungan harga hasil panen agar petani tidak selalu rugi saat panen raya.
3. Formalitas pekerja informal melalui regulasi jaminan sosial, bukan sekadar subsidi.
4. Kontrol inflasi dan pangan melalui cadangan strategis dan distribusi yang adil.
5. Keterlibatan rakyat kecil dalam pengawasan agar dana tidak disedot elite birokrasi atau korporasi besar.
Artinya kebijakan fiskal Kemenkeu hari ini ku akui memang membuka peluang perubahan. Tetapi dari sudut Marhaenisme, ia baru menjadi janji marhaen jika mampu mengangkat petani kecil, buruh, dan pekerja informal sebagai pusat ekonomi bangsa. Marhaen tidak meminta belas kasihan, selalu upaya menuntut keadilan.
Merdeka.!!!
Gmni Jaya.!!!
Penulis : Budi Tarra Aktivis