BERITAOPINI.ID, SURAKARTA JAWA TENGAH | Narendra Wicaksana akhir bulan ini cukup sibuk. Ia mengemasi barang bawaannya yang menempel di sepeda balapnya, kemudian mengayuh ratusan kilometer menuju ke Jawa Timur.
Misi bersepedanya bukan sekadar hobi semata. Di setiap kayuhannya merupakan sikap. Sikap atas masih maraknya kasus kekerasan yang berimbas kepada Hak Asasi Manusia. Peristiwa Kanjuruhan misalnya, kini kekejian itu telah lewat tiga tahun lalu. Narendra urung untuk melupakannya. Ia mengayuh sepedanya untuk bersikap, bahwa itu peristiwa itu berurusan dengan kemanusian.
Melalui telepon, Beritaopini.id berkomunikasi dengan Narendra Wicaksana. Rendra sapaan akrabnya, menyampaikan bahwa dirinya bersepada untuk berziarah menyoal kemanusiaan, sikap politik dan ketabahan. Ia mengatasnamakan dirinya sebagai Ultracyling, di mana dirinya bersepeda bukan sekadar bersepeda. Setiap kayuhannya merupakan sebuah sikap.
“Intinya sama seperti tahun kemarin. Aku ingin menunjukan ekspresi saya, pendapat saya dengan jalan bersepeda. Karena dengan jalan bersepeda, lebih fleksibel dan berdurasi lama. Lebih banyak menjangkau orang secara acak dan random,” ujar Rendra saat dihubungi melalaui Whatsapp pada Senin (29/09/2025).
Saat ditanyai terkait dengan motivasinya untuk mengayuh sepeda ratusan kilometer, Narendra menandaskan bahwa dirinya tak ingin diam. “Saya ingin mengenang peristiwa kelam pelanggaran HAM di bulan September. Tak hanya itu, saya menyampaikan pesan kepada para tahanan yang mencapai 956 orang, hanya karena mereka menyampaikan pendapatnya. Saya bersolidaritas dengan mereka,” celetuk Narendra.
Selama dirinya hidup, ia tak ingin membisu ataupun membebek. Rendra ingin terus bersikap. Selama ia hidup, dirinya akan tetap menyuarakan bagaimana dirinya melihat masih banyaknya, pelanggaran Hak Asasi Manusia di Indonesia.
Sebelumnya, pria kelahiran Klaten itu, telah melakukan pengembaraan dengan sepedanya menuju Mekkah, Arab Saudi beberapa tahun lalu untuk menyuarakan tragedi Kanjuruhan. Kini ia kembali ke Indonesia untuk mencicipi jalanan untuk terus berjuang menyuarakan misi kemanusiaan.
Pada (25/09/2025) Rendra memulai perjalanannya menuju ke Jawa Timur. Dengan mengayuh sepeda balapnya ia berkunjung ke tempat-tempat penting, seperti Stadion Kanjuruhan, Makam Salim Kancil dan Kediri Jawa Timur.
Perawakannya yang bersahabat, ia menyambangi beberapa komunitas penting. Ia berkomunikasi tentang sepeda dan sejumput kisah tentang Hak Asasi Manusia yang riskan dikikis lupa. Tepat pada tanggal (29/09) Rendra sampai ke Stadion Kanjuruhan, tempat di mana sepak bola yang menggaransikan kebahagiaan, malah berujung muram.
Kedatangannya ke Kanjuruhan untuk bersolidaritas kepada orang tua para korban yang telah ditinggalkan oleh anak-anak mereka. Sebuah doa kemudian dilantunkan Rendra kepada para korban.
Setibanya di Kanjuruhan, Rendra melanjutkan perjalanannya menuju ke Lumajang. Di situ, ia bersua dengan adik dari mendiang Salim Kancil. Pria pemberani dari Lumajang yang mempertahankan ruang hidupnya yang dicaplok tambang pasir, meskipun akhirnya Salim Kancil tewas pada September 2015 lalu.
“Saya bertemu dengan Pak Paiman selaku adik kandung dari Salim Kancil. Kasian, pak Paiman tinggal sendiri penuh kesepian. Tak ada yang menemani, selepas kakaknya dibunuh,” ujar Rendra.
Perjumpaannya dengan pak Paiman, membuka kisah tentang sebuah sikap dan resiko yang membuntutinya. Salim Kancil dikenal sebagai seorang petani dan aktivis lingkungan. Ia membela tanah penghidupannya dari tambang pasir yang riskan merenggutnya.
Selepas tujuh bulan Almarhum Salim Kancil dibunuh, kata Rendra menirukan apa yang disampaikan oleh Paiman, rumahnya dijaga ketat oleh polisi dan beberapa orang asing tak berseragam.
“Saya terperanggah dan teriris, ketika sebuah nisan yang hampir terkubur gundukan tanah itu, ialah makam Salim Kancil. Seharusnya makam ini dipugar sebagaimana dedikasi Salim Kancil semasa hidupnya untuk menghadapi keserakahan pemilik modal,” jelas Rendra.
Hingga kini, dirinya masih melangsungkan perjalanannya seorang diri dengan ditemani oleh sepeda. Ia turut pula berpesan kepada siapapun yang menyampaikan pendapat agar tak segan dan takut, karena keadilan sebenarnya ialah keadilan yang diperjuangkan, bukan hanya berkisah sambil meringkuk.