BERITAOPINI.ID SURAKARTA JATENG | Amir Mahmud Ma’ruf membersamai mahasiswanya berbincang menyoal Pancasila, Bangsa dan Negara. Kegiatan itu berlangsung di Wedangan Pak Min pada Rabu (17/12/2025).
Siang nan cukup terik itu, berbeda dengan perjumpaan di dalam kelas. Amir Mahmud Ma’ruf yang juga mengepalai Amir Institute dan sebagai pengajar di kampus Universitas Nahdlatul Ulama dan Institut Mambaul Ulum, menggelar diskusi ringan namun berbobot.
Dalam acara itu, hadir pula seorang dosen Ilmu Kesehatan dari Universitas Duta Bangsa Surakarta –Andirana, serta beberapa pegiat ilmu yang berada di Kota Solo, antara lain Firman Arifianto.
Perjumpaan di luar kampus, nampaknya bukan hal yang asing bagi Amir Mahmud. Ia acap kali mengajak mahasiswa untuk sekadar berdiskusi sembari menikmati hidangan di waktu siang.
“Kita ngobrol santai, namun punya arti, mengenai mahasiswa dan rasa Nasionalisme,” ujar Amir saat membersamai mahasiswanya.
Nampaknya perkara Nasionalisme itu bukan lahir dari ruang yang kosong, di situ perbincangan berlangsung mengalir. Mahasiswa saling menyambut menyuguhkan pertanyaan bahkan gagasan.
Gaya dalam mengajar Amir ini mengatkan kepada Paulo Freire, di mana seorang pengajar itu bukan patron total yang mengajak mahasiswanya membisu. Siang itu, Amir membuka ruang amat leber, sehingga antara pengajar dan pelajar nampak tiada sekat, terlihat amat solid dan bersahabat. Seperti teman sebaya, namun lekat dengan santun.
Dalam kesempatan itu, Firman Arifianto selaku pemikir dan penulis buku asal Batang Jawa tengah. Ia kini tinggal di Kota Solo dan masih sering menyuguhkan tulisan segarnya, terutama menyoal keislaman.
Firman membeberkan tentang yang silam. Sebagai alumnus Universitas Muhammadiyah Surakarta, Firman memberi tahu mahasiswa apa arti seorang pembelajar.
“Saat saya mengenang sewaktu kuliah, di situ terdapat buku, kritis dan ide. Elemen itu melakat dalam diri seorang pembelajar, atau dalam hal ini adalah mahasiswa,” jelasnya.
Sebuah buku berjumlah dua butir diberikan kepada Mahasiswa yang berani eksis. Buku itu bertema Islam di era konstantinopel. Buku itu sebuah wasiat, di mana seorang mahasiswa dalam hal ini intelektual, kurang lengkap bila tak membikin sebuah buku. Buku adalah pertanggungjawaban.
Selain itu, Firman turut pula menyigi ajakan kepada mahasiswa untuk aktif. Waktu yang singkat di relung-relung kelas, berkisar empat tahun itu harus dihabiskan dengan kebermanfaat. “Tiada lain, anda semua adalah penerus republik ini, gunakan waktu sebaik mungkin,” tukas Firman.
Kemudian, dosen Univeristas Duta Bangsa, adalah Ibu Andriana, menandaskan pentingnya kesehatan mental bagi seorang remaja, yang acap kali mengalami letupan di sela-sela hidupnya. Mahasiswa yang didominasi oleh generas Z itu, menjadi sorotan dalam perbincangan itu.
“Dalam fase menjemput dewasa, remaja sering menghadapi burn out, strees dan bahkan rasa frustasi, remaja harus memahami dirinya, dan mampu melakukan kontrol,” papar Andriana.
Perempuan yang lahir dari tanah Aceh Darussalam itu, memberikan materi kepada Mahasiswa. Bahwa mereka harus mengenali dirinya sendiri, seperti ucapan Socrates Gnoti Souton, -kenalilah dirimu sendiri.
















