BERITAOPINI.ID DKI JAKARTA | Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Ibnu Chaldun (BEM UIC) menggelar diskusi publik dalam rangka memperingati 80 tahun kemerdekaan Republik Indonesia di kawasan Pulogadung. Kegiatan ini menghadirkan dua narasumber utama, yakni Ketua Umum LBH Forum Advokasi Keadilan dan Transparansi, M. Daud Loilatu, S.H, serta Kabid PTKP HMI Cabang Jakarta Raya, M. Ubaidillah Daga. Diskusi menyoroti makna simbol kebangsaan dan ancaman perang simbol di era digital.
Dalam penyampaiannya, M. Daud Loilatu menegaskan bahwa perjalanan delapan dekade bangsa Indonesia penuh dengan ujian sejarah, mulai dari penjajahan hingga krisis politik. Namun, menurutnya, tantangan hari ini tidak lagi berupa kolonialisme bersenjata, melainkan penjajahan simbol dan ideologi melalui budaya populer.
“Simbol bukan sekadar gambar, tetapi tanda yang memuat pesan, ideologi, dan identitas. Jika simbol asing dibiarkan mendominasi, ia dapat mengikis rasa nasionalisme dan membuka celah disintegrasi,” ujarnya, di Pulogadung, Jakarta Timur, Jumat (15/8/2025).
Daud menyoroti fenomena penggunaan simbol Jolly Roger dari serial Jepang One Piece yang ramai dibicarakan publik. Menurutnya, meskipun karya tersebut mengusung nilai persahabatan dan kebebasan, ketika simbol bajak laut itu dipasang di ruang publik Indonesia, ia tidak lagi netral.
“Kita harus objektif. Simbol ini bisa dipersepsikan sebagai glorifikasi budaya bajak laut yang bertentangan dengan nilai Pancasila dan sejarah perjuangan bangsa. Refleksi kemerdekaan harus mendorong kita mendidik generasi muda agar memahami makna simbol nasional dan membangun literasi budaya,” kata Daud.
Sementara itu, M. Ubaidillah Daga menyoroti peran media sosial dalam memperuncing polarisasi terkait perang simbol. Menurutnya, media sosial kini menjadi medan tempur opini, di mana satu gambar atau simbol dapat memicu pertarungan narasi antarwarga.
“Media sosial ibarat pedang bermata dua. Di satu sisi membuka ruang ekspresi, tetapi di sisi lain memperkuat polarisasi. Fenomena simbol One Piece membelah masyarakat menjadi dua kubu: yang pro karena dianggap sekadar hiburan, dan yang kontra karena menilai sebagai pelecehan simbol negara,” jelasnya.
Lebih jauh, Ubaidillah memperingatkan bahwa polarisasi tidak hanya berhenti di ruang digital, tetapi juga merembes ke dunia nyata dalam bentuk perpecahan komunitas maupun generasi.
“Inilah titik rawan disintegrasi: ketika kita lebih rela membela simbol asing di media sosial daripada merawat simbol kebangsaan yang menjadi perekat persatuan,” tegasnya.
Ia menambahkan, refleksi kemerdekaan di era media sosial harus diisi dengan penguatan literasi digital, membangun narasi positif tentang sejarah bangsa, serta menjadikan ruang digital sebagai arena persatuan.
“Delapan puluh tahun lalu, pertempuran dilakukan dengan bambu runcing. Hari ini, pertempuran dilakukan dengan simbol dan narasi. Mari kita jaga kemerdekaan, tidak hanya di darat, laut, dan udara, tetapi juga di ruang digital,” tutup Ubaidillah.
Diskusi yang diinisiasi BEM UIC ini menegaskan bahwa kemerdekaan tidak hanya berarti lepas dari penjajahan politik, tetapi juga menjaga kedaulatan budaya dan identitas bangsa di tengah derasnya arus globalisasi dan penetrasi budaya asing.