BERITAOPINI.ID PURBALINGGA JAWA TENGAH| Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Perwira Purbalingga (Unperba) menggelar diskusi publik pada 26 September 2025, sebagai bagian dari peringatan Hari Tani Nasional. Kegiatan ini mengangkat tema “Bangun Barisan Rakyat: Hapuskan Kemiskinan, Wujudkan Kesejahteraan Umum Rakyat Indonesia” dan menghadirkan tokoh pergerakan mahasiswa dari Purwokerto sebagai narasumber.
Presiden Mahasiswa BEM Unsoed 2020, Lugas Ikhtiar, menyoroti ketimpangan sosial dan ekonomi yang masih terlihat di masyarakat. “Dalam kehidupan bermasyarakat selalu ada pihak yang kaya dan miskin, ada yang menindas dan ditindas. Kondisi itu muncul karena adanya orang atau kelompok yang memiliki kuasa dan wewenang lebih besar,” ujarnya. Ia menambahkan bahwa dilema ini terutama dirasakan di desa, di mana generasi muda kesulitan memiliki tanah.
Lugas juga menyampaikan fakta terkait kepemilikan tanah di Indonesia. Ia menyebutkan, “Indonesia memiliki daratan sekitar 190 juta hektare, meskipun catatan resmi pemerintah berbeda-beda. Sebagian besar tanah ini berupa kawasan hutan yang dikuasai negara.” Ia menekankan, meski Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 menyebutkan bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai negara untuk kemakmuran rakyat, pemerintah belum transparan soal peruntukan tanah, pengelolaan, dan pemanfaatan hasilnya.
Ia menyoroti kemiskinan struktural yang masih meluas. “Indonesia sudah merdeka lebih dari 80 tahun, namun masih tertinggal dibanding negara lain seperti Tiongkok dan Malaysia. Kekayaan alam seharusnya bisa memakmurkan rakyat, tapi kenyataannya kemiskinan tetap merajalela. Ini bukan karena rakyat malas, melainkan sistem yang membuat rakyat dimiskinkan,” jelasnya. Lugas menambahkan, upah minimum yang tidak mencukupi kebutuhan hidup dan jam kerja panjang menimbulkan masalah sosial, termasuk ketidakstabilan keluarga.
Dalam konteks struktur ekonomi, Lugas menegaskan bahwa rakyat kecil sulit naik kelas. Tanah di Kalimantan dan Papua, misalnya, lebih banyak dikuasai modal besar dan korporasi. “Doktrin kedaulatan rakyat dalam praktiknya kosong, karena rakyat tidak benar-benar berdaulat atas tanah dan hasil alam,” ujarnya.
Dampak nyata dari kondisi ini terlihat pada petani. Mayoritas petani di Indonesia tidak memiliki hak resmi atas tanah yang mereka garap, dan sebagian mengalami keterbatasan modal sehingga bergantung pada tengkulak. Akibatnya, keuntungan yang seharusnya diperoleh petani justru jatuh pada rantai distribusi panjang. Lugas menilai, reformasi agraria yang dijanjikan pemerintah selama ini hanya sebatas 10 persen dan belum menunjukkan keberpihakan nyata kepada rakyat.
Ia menutup paparan dengan pertanyaan kritis: “Di mana keberpihakan pemerintah? Sampai sekarang belum ada bukti kuat adanya kebijakan yang benar-benar menghentikan praktik ketidakadilan agraria.”
Sementara itu, Menko Politik Pergerakan BEM Unsoed 2024, Aji Satya Dharma, menyoroti kondisi kemiskinan dan ketimpangan kepemilikan lahan di Purbalingga dan Indonesia secara umum. “Purbalingga sendiri termasuk dalam kategori kemiskinan ekstrem, sementara secara nasional mayoritas masyarakat Indonesia sekitar 80 persen mengalami kondisi miskin. Permasalahan ini tidak bisa dijustifikasi hanya dengan alasan pribadi atau faktor malas, melainkan akibat sistem yang memaksa warganya tetap miskin,” ujarnya.
Aji juga menekankan ketimpangan kepemilikan lahan. “Saat ini satu orang bisa menguasai hingga 500 ribu hektare, sedangkan petani gurem rata-rata hanya menguasai kurang dari setengah hektare. Kondisi ini menunjukkan betapa timpangnya distribusi tanah dan minimnya keberpihakan negara terhadap rakyat kecil,” jelasnya.
Ia menambahkan, ketimpangan ini memicu konflik agraria di berbagai daerah, seperti di Wadas, Kalimantan, dan Sulawesi. “Konflik-konflik tersebut sering menelan korban, karena masyarakat berusaha mempertahankan tanah mereka dari proyek-proyek komersial yang menguntungkan modal besar,” tambahnya. Aji menegaskan, kesadaran kolektif perlu dibangun agar rakyat berhak memperoleh manfaat dari seluruh lahan di Indonesia, bukan tersisih dari tanahnya sendiri.
Diskusi publik ini dihadiri mahasiswa dari berbagai organisasi, antara lain FMN Cabang Purwokerto, GMNI Purbalingga, IMM Abudardiri, dan IMM Bung Karno. Kegiatan berlangsung dinamis dengan sesi tanya jawab, di mana peserta aktif menyampaikan pandangan serta pertanyaan kepada narasumber.
Selain itu, diskusi juga menghadirkan petani sebagai narasumber lapangan. Kehadiran petani ini memberikan gambaran nyata tentang tantangan yang dihadapi di lapangan, sehingga peserta dapat memahami kondisi agraria secara lebih utuh.