BERITAOPINI.ID SURAKARTA JATENG | Genap sebulan, penyampaian pendapat di beberapa penjuru republik, menuai banyak sorotan. Hiruk pikuknya terciprat oleh tinta merah yang membikin kebebasan berpendapat dimaknai sebagai kekerasan.
Beberapa pentolan yang diduga sebagai sebab-musabab meletupnya api dan amarah, kini masih meringkuk di penjara. Polisi menyebutnya sebagai dalang penyebab kekerasan, meskipun bukti-bukti yang Polisi miliki kurang meyakinkan.
Beberapa orang tertuduh kemudian diseret ke bui. Delpedro Marhen, Sahdan Husen, Sam Oemar, Kawan Faiz, Kawan Paul dan beberapa lainnya yang dipelintir oleh negara yang konon membuka lebar kebebasan berpendapat.
Menanggapi situasi itu, beberapa perwakilan organisasi, komunitas, akademisi hingga seniman berhimpun di Jaringan Masyrakarta Sipil Surakarta. Mereka menyampaikan pernyataan sikap di Rumah Banjarsari Surakarta pada Rabu (01/10/2025).
Pernyataan sikap yang tergabung dalam Jaringan Masyrakat Sipil Surakarta didukung oleh beberapa pihak antara lain: SPEK-HAM, Yayasan Kakak, Yayasan ATMA, YAPHI, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Solo, Badrus Zaman Law Office, Gusdurian Solo, Ikatan Pelajar Muhammadiyah Kota Surakarta, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Kota Surakarta, HMI Surakarta, LPM Pabelan, BEM UMS, Serikat Pekerja Kampus, LBH Soratice, BEM UNIBA, BEM UNSA, BEM IIM, BEM UNISRI, BEM ISI SOLO, BEM Soloraya, Front Mahasiswa Nasional UNS, KAMMI Solo, Media Kita, F. SEBUMI, Elemen 98, Yustika Etnika, SARI, Pegiat Budaya Solo Raya dan Rakyat dan Tokoh Masyarakat Surakarta.
Sikap itu tersirat di sebuah kertas yang kaya akan data. Jaringan Masyarakat Sipil Surakarta menemukan ketidakpatutan dari aparat kepolisian dalam penangkapan para aktivis. Penangkapan aktivis dan mereka yang berpendapat menurutnya itu bertolak belakang dengan kebebasan berpendapat.
Jaringan Masyrakat Sipil Surakarta menyoroti proses penggeledahan dan penyitaan barang pribadi termasuk buku dan karya intelektual dilakukan tanpa dasar hukum yang jelas. Selain itu, Jaringan Masyarakat Sipil Surakarta turut pula menyoroti terkait dengan pihak kepolisian yang melakukan pemeriksaan secara intensif hingga larut malam, tanpa memperhatikan dasar tersangka.
Penangkapan berekskalasi besar itu, membikin Jaringan Masyarakat Sipil Surakarta tidak tinggal diam. Ia menyoroti pula terkait dengan pencorerang nama baik demokrasi. Menurutnya, demokrasi yang tolak ukur paling minimal adalah ruang bebas berpendapat mulai dikikis sedikit demi sedikit dengan tuduhan ‘Anarkis’ tak berdasar.
Jaringan Masyarakat Sipil Surakarta menganggap bahwa pencorengan nama baik demokrasi dengan tuduhan anarkis dan tuduhan miring lainnya, sebagai ancaman sistemik bagi keberadaan demokrasi.
Kriminalisasi aktivis, pegiat reformasi, dan warga kritis merupakan bentuk teror terhadap demokrasi. Hal itu dapat berimbas kepada partisipasi generasi muda diluar kontestasi electoral seperti aksi demonstrasi, kegiatan komunitas, hingga aktivisme digital, semakin dibatasi oleh represivitas aparat, kemudian struktur politik yang dikuasai elite dan dinasti politik semakin mempersempit ruang partisipasi politik yang bermakna bagi rakyat.
Siang yang terik kemudian dibalas dengan rintik hujan yang menderu, Jaringan Masyarakat Sipil Surakarta menyampaikan pernyataan sikap. Sebanyak sembilan pernyataan itu sebagai pengingat atas demokrasi kita yang keberadaannya tak didapat sebagaimana mestinya.
Adapun beberapa tuntuntan :
- Membebaskan seluruh aktivis, pegiat reformasi, dan warga yang ditahan karena menyuarakan kritik serta mencabut seluruh status tersangka yang dijatuhkan secara sewenang-wenang tanpa terkecuali.
- Menghentikan praktik perburuan, kriminalisasi, dan intimidasi terhadap siapapun yang menggunakan hak konstitusionalnya untuk berekspresi dan menyampaikan pendapat.
- Mengusut tuntas kasus kekerasan, penyiksaan, salah tangkap, dan penghilangan orang melalui pembentukan Tim Pencari Fakta Independen (TGPF) yang melibatkan masyarakat sipil, akademisi, serta lembaga HAM.
- Pulihkan hak korban atas kasus kekerasan, penyiksaan, dan salah tangkap oleh aparat. Pemulihan harus dilakukan secara menyeluruh meliputi rehabilitasi medis dan psikologis, rehabilitasi sosial, restitusi dan kompensasi, pemulihan nama baik, serta jaminan ketidakberulangan (guarantees of non-repetition). Pemulihan hak korban bukan hanya kewajiban moral, tetapi juga mandat hukum berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban, KUHAP, serta instrumen hak asasi manusia internasional yang telah diratifikasi Indonesia.
- Melaksanakan reformasi menyeluruh dalam tubuh Kepolisian Republik Indonesia, agar penegakan hukum dijalankan secara adil, transparan, dan akuntabel, bukan menjadi instrumen politik untuk membungkam kritik.
- Menegakkan mekanisme pengawasan internal dan eksternal (Propam, Irwasum, Komnas HAM, Ombudsman, Kompolnas) secara efektif untuk memastikan tidak ada penyalahgunaan kewenangan oleh aparat. Penegakan hukum boleh dilakukan, tapi tak lantas mengabaikan hak asasi manusia dan dilakukan serampangan.
- Melindungi hak advokat dan pendamping hukum, termasuk menghentikan segala bentuk pemaksaan, intervensi, maupun kriminalisasi terhadap kuasa hukum.
- Menjamin perlindungan data pribadi dan keamanan digital para aktivis, pegiat reformasi, jurnalis, dan warga kritis dari praktik pengawasan serta permintaan data yang melanggar hukum.
- Menghormati dan menjamin kebebasan berekspresi, berpendapat, dan berkumpul sebagai hak konstitusional warga negara yang dilindungi Undang-Undang Dasar 1945 serta instrumen hak asasi manusia internasional.