BERITAOPINI.ID KUPANG NTT | Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Cabang Kupang St. Fransiskus Xaverius mengecam keras lambannya penanganan kasus persetubuhan anak di bawah umur yang ditangani oleh Polres Kupang. Kecaman ini disampaikan setelah PMKRI menerima aduan dari keluarga korban pada Kamis, 6 Maret 2025.
Korban, yang berusia 15 tahun (nama samaran: Bunga), diduga menjadi korban persetubuhan yang dilakukan oleh tetangganya, EB (60 tahun), di Kecamatan Takari, Kabupaten Kupang. Peristiwa ini terungkap pada 8 Oktober 2024, ketika orang tua korban melihat perubahan fisik pada anaknya dan membawanya ke RSUD Soe. Hasil pemeriksaan pada 9 November 2024 menunjukkan bahwa korban telah hamil 5 bulan.
Setelah diinterogasi oleh keluarga, korban mengaku bahwa ia disetubuhi secara paksa oleh EB. Korban tidak berani melapor karena diancam akan dibunuh oleh pelaku. Orang tua korban telah melaporkan kasus ini ke Polres Kupang pada 11 November 2024 dengan nomor laporan LP/8/252/X/2024/SPKT/POLRES KUPANG/POLDA NUSA TENGGARA TIMUR. Namun, hingga saat ini, penanganan kasus tersebut dinilai berjalan lambat dan belum ada titik terang.
Clara Yunita Tefa, Presidium Gerakan Kemasyarakatan PMKRI Cabang Kupang, menilai bahwa Polres Kupang tidak serius dalam menangani kasus ini. Terduga pelaku, EB, telah tiga kali mangkir dari panggilan polisi. Clara Yunita Tefa menegaskan bahwa tindakan ini merupakan pembangkangan terhadap hukum dan meminta agar polisi segera melakukan penjemputan paksa sesuai dengan Pasal 112 ayat 2 KUHAP.
“Kami menilai bahwa terduga pelaku telah melakukan pembangkangan terhadap hukum dengan mangkir 3 kali dari panggilan polisi, sehingga kami meminta agar Polres Kupang segera melakukan penjemputan paksa sesuai dengan aturan Pasal 112 ayat 2 KUHAP yang menjelaskan, orang yang dipanggil wajib datang kepada penyidik dan jika ia tidak datang, maka penyidik memanggil sekali lagi dengan perintah kepada petugas untuk membawa kepadanya,” tegas Clara.
Sementara itu, Ketua Presidium PMKRI Cabang Kupang, Dilion C. Y. Heton, juga mengecam lambannya penanganan kasus ini. Ia mempertanyakan alasan polisi yang terkesan mengabaikan keterangan korban sebagai bukti permulaan, sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP.
“Sesuai dengan pasal 184 KUHAP Keterangan korban itu bisa dijadikan bukti permulaan, lalu apa alasan yang membuat Polres Kupang Kota ini lambat sekali dalam menangani kasus ini,” ujar Dilion.
Atas hal itu, PMKRI Cabang Kupang memberikan ultimatum kepada Polres Kupang untuk segera menunjukkan perkembangan penanganan kasus dalam waktu 1×24 jam. Jika tidak ada perkembangan, mereka mengancam akan melakukan aksi demonstrasi besar-besaran.
“Apabila dalam kurun waktu 1×24 jam tidak ada perkembangan penanganan kasus maka PMKRI Cabang Kupang akan menggalang masa untuk melakukan aksi besar-besaran,” ancam Dilion.
PMKRI juga meminta perhatian serius dari Kapolda NTT untuk berkoordinasi dengan Kapolres Kupang agar kasus ini segera diselesaikan. Mereka menekankan pentingnya penanganan kasus ini secara serius demi menjaga etika profesi kepolisian dan nama baik institusi.
“Kami juga meminta atensi serius dari Kapolda untuk segera berkoordinasi dengan Kapolres Kupang untuk menyelesaikan kasus ini. Ini berkaitan dengan etika profesi kepolisian, juga nama baik institusi, untuk itu harus serius tangani kasus semacam ini,” pungkas Dilion.
PMKRI Cabang Kupang juga mendorong agar korban mendapatkan rehabilitasi untuk memulihkan kondisi fisik dan psikologisnya. Mereka menegaskan bahwa persetubuhan terhadap anak merupakan bentuk pelecehan yang merusak masa depan dan psikologi korban.
“Korban harus mendapatkan rehabilitasi, karena persetubuhan terhadap anak merupakan bentuk pelecehan yang merusak masa depan dan psikologi korban” Kata Clara. (Nino)