SAMA-SAMA MU, SAMA-SAMA TENGGELAM
(Tenggelamnya Manchester United Serupa dengan Tenggelamnya Mamba’ul ‘Ulum)
Oleh: Rojali
Manusia mana yang tidak tahu MU (Manchester United)? Tim sepak bola asal Inggris ini, meskipun terperosok dan terjerembap ke dasar klasemen Liga Inggris, masih memiliki mental culas dan kebal hujatan. Hebatnya lagi, yang kebal hujatan bukan hanya para pemain dan staf timnya saja, tetapi juga para penggemar yang menolak melepas kacamata hitamnya dan enggan mengakui bahwa tim kesayangan mereka sedang bapuk sebapuk-bapuknya. Memang, sulit sekali memberi tahu lalat bahwa bunga lebih indah daripada sampah. Pusing juga menyadarkan mereka bahwa realitanya memang seburuk itu. Sadarlah, para penggemar United! Jangan terus-menerus menyangkal sejarah. Melihat ke depan lebih penting daripada terus terjebak dalam nostalgia kejayaan. Ayo sadar!
Kalau MU di Inggris adalah tim sepak bola, lalu MU di Serengan itu apa?
Kamu menebak itu universitas? Oh, jelas bukan. Kamu menebak itu pondok pesantren? Oh, jelas bukan juga. Lalu apa yang benar? Ya, tidak tahu juga, karena dari luar tidak terlihat apa-apa selain bangunan sepetak yang tak kunjung berbenah.
Selain penggemar Manchester United yang masih menyangkal kenyataan dan tetap nekat mendukung timnya dengan mengagung-agungkan sejarah mereka sebagai peraih trofi Liga Inggris terbanyak di era Premier League, ternyata MU cabang Serengan ini juga sama denial-nya. Mereka bangga dengan historisnya sebagai salah satu pelopor pendidikan di Solo Raya dan satu embrio dengan UNS (Universitas Sebelas Maret), yang gagahnya tidak kira-kira, terutama dengan berdirinya UNS Tower yang baru saja rampung dibangun beberapa waktu lalu.
Dibanding-bandingkan memang tidak enak, ya? Iya, sih. Tapi kalau itu demi berbenah, kenapa tidak? MU cabang Serengan ini sedang berproses masuk ke dalam goa secara perlahan, semakin gelap dan gelap, semakin siap terbentur dan bonyok babak belur karena tajamnya goa dan minimnya cahaya. Sebagai salah satu mahasiswa di kampus kecil MU cabang Serengan ini, tentu saja saya tahu sedikit banyak tentang kejanggalan-kejanggalan yang seharusnya dievaluasi oleh para pimpinan dan akademisi yang duduk di singgasana kampus.
Rektor atau Kepala Sekolah?
Idealnya, perguruan tinggi yang sudah bertahun-tahun menyinari Serengan Raya (walaupun remang-remang) seharusnya sudah final dalam perkara administrasi dan hanya perlu melakukan pembaruan serta inovasi. Namun, mengapa hal ini justru diubah seenaknya demi meloloskan selundupan oknum yang melanggar konstitusi (jika kita mengaitkannya dengan kejadian Pilpres 2024 di negara Konoha)? Jika hanya S2, MU cabang Serengan juga memiliki kelas S2. Masa rektor, yang merupakan pimpinan tertinggi di kampus, juga hanya lulusan S2? Itu rektor atau kepala sekolah? Ini kampus atau taman kanak-kanak?
Rektor periode sebelumnya yang bergelar doktor saja dinilai kurang, eh, kok sekarang malah semakin menggila dan semakin cepat menyelami goa nan gelap gulita dengan komando dari seseorang yang hanya bergelar S2. Apakah mahasiswa bisa yakin bahwa rektor MU cabang Serengan ini mampu? Seberapa luas relasinya di bidang akademik? Seberapa lihai dalam tata kelola administrasi instansi pendidikan?
Kampus Hijau?
Janggal sekali memang jika kita membandingkan kampus hijau cabang Serengan ini dengan kampus-kampus lain di Solo Raya. FYI, kampus hijau ini maksudnya adalah logonya yang hijau, bukan pasokan udara segar dan keasrian yang menyejukkan mata serta paru-paru.
Di luar sana, berbagai kampus dan pimpinan akademisi instansi pendidikan berbondong-bondong menyuarakan krisis ekologi, dimulai dari internal mereka sendiri lalu disebarluaskan kepada masyarakat Indonesia. Lalu, kampus kita ngapain? Oh iya, mungkin karena kurangnya hijau-hijauan organik di kampus, menyebabkan mahasiswa, dosen, dan para pimpinan sulit bernapas lega serta tidak sempat memikirkan dari mana udara segar diperoleh. Mereka pun tidak sempat mengkaji dan menghitung kadar CO₂ yang dihasilkan dan apakah kadar O₂ yang ada cukup untuk dihirup. Asap di mana-mana pula. Repot memang.
Mungkin yang mereka pikirkan bukan hijau organik, tetapi hijau dolar yang mereka nanti-nantikan sambil menunggu inflasi agar keuntungannya semakin tinggi, bisa membelikan anak boneka Barbie, dan bisa liburan ke Makkah suatu hari nanti.
Kampus Murah, World Class Islamic Institute?
Jargon yang ringan diucapkan sebagai narasi, tetapi terlalu utopis sebagai aksi. Mengapa utopis? Karena kapabilitas yang dimiliki oleh MU cabang Serengan ini sangat tidak mumpuni. Tentu saja, bercita-cita bukanlah hal yang haram, tetapi memiliki pandangan besar perlu diiringi dengan realitas, sumber daya yang ada, serta keseimbangan antara kemampuan dan kemauan.
World Class Islamic Institute adalah mimpi yang tidak masuk akal jika dijadikan sebagai gagasan. Bagaimana bisa? Bersinar di satu kota kecil saja sulit, apalagi berencana bertarung dalam skala global sebagai sebuah institut.
Kampus murah adalah idaman bagi mahasiswa dan orang tua yang menganggap pendidikan itu penting. Namun, bagi mereka yang mengutamakan kualitas pendidikan, parameter utama dalam menilai suatu institusi pendidikan adalah mutu, bukan sekadar biaya murah. Lalu, apakah MU cabang Serengan ini bisa dikategorikan sebagai kampus murah?
Anggapan murah atau tidak dalam suatu bisnis adalah ketika harga yang dibayarkan sepadan dengan manfaat yang didapatkan. MU cabang Serengan menawarkan UKT yang ideal sebagai sebuah kampus mini di Solo, tetapi apakah kampus ini bisa disebut sebagai kampus idaman yang ramah di kantong? Tentu saja tidak. Dengan menggunakan sistem UKT, terdapat ketidakadilan dalam penempatan anggaran, serta ketidaklayakan fasilitas sebagai sarana belajar mahasiswa.
Di luar biaya rutin semester, masih ada biaya-biaya yang tidak masuk akal dan tidak dapat dipertanggungjawabkan oleh kampus, di antaranya:
- Biaya PKN (Praktik Kerja Nyata) yang tidak rasional dan tidak transparan, serta tidak sepadan dengan fasilitas yang didapatkan peserta. Padahal, seharusnya kampus yang membiayai program ini karena merupakan bagian dari Tri Dharma Perguruan Tinggi.
- Biaya Ujian Lisan (Komprehensif) yang nominalnya memang tidak besar, tetapi apakah harus dinominalkan dan diwajibkan untuk mahasiswa?
- Biaya Ujian Munaqosah, yang jumlahnya hampir ¾ dari biaya UKT itu sendiri.
Apakah ketiga poin di atas dapat dipertanggungjawabkan dan ditransparansikan oleh pihak kampus? Apakah biaya yang dikeluarkan sepadan dengan fasilitas yang diperoleh mahasiswa? Tentu saja tidak.
Sebagai inovasi, dengan biaya sebesar itu, lebih baik MU cabang Serengan ini membuka warung pecel lele. Keuntungannya pasti lebih besar, dan instansi akan lebih dikenal sebagaimana MU cabang Inggris. Mereka patut dicontoh.
Pertanyaan penutup: apakah kampus Islam yang melandaskan ideologinya pada kitab suci harus dikotori oleh oknum-oknum rakus dan nepotis?
Mari berefleksi dan memperbarui visi.