BERITAOPINI.ID, SURAKARTA | Diskusi publik bertajuk “Implikasi Teror Pengiriman Kepala Babi terhadap Kebebasan Jurnalis Perempuan dalam Bersuara” digelar di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret (FH UNS) pada Senin (21/04), mengangkat isu mendesak tentang kekerasan simbolik dan teror yang dihadapi jurnalis perempuan di Indonesia.
Acara ini menghadirkan dua pembicara, yakni Salma Nur Fitriya dan Nasywa Wafin, dengan Anisa Nur Fatima Karmun sebagai moderator. Diskusi ini menjadi ruang refleksi kritis atas meningkatnya ancaman terhadap jurnalis, khususnya perempuan, dalam menjalankan tugas jurnalistiknya.
Ruang Aman yang Kian Tergerus
Salma Nur Fitriya menyoroti pentingnya ruang aman bagi jurnalis perempuan, tidak hanya dalam aspek fisik, tetapi juga dalam kebebasan berpikir, berbicara, dan bermimpi tanpa rasa takut. Ia menyatakan bahwa dalam konteks global, perlindungan terhadap jurnalis merupakan bagian dari tanggung jawab hukum internasional, dan harus menjadi perhatian serius di tingkat nasional.
“Ketika ruang aman tidak terpenuhi, maka kebebasan berekspresi pun terkekang. Padahal, ini adalah hak dasar yang dijamin dalam hukum internasional,” ujarnya. Ia juga menekankan bahwa profesionalitas jurnalis kerap tidak sebanding dengan perlindungan yang mereka dapatkan di lapangan, terlebih ketika mereka meliput isu-isu sensitif yang menyentuh kepentingan kekuasaan.
Teror sebagai Instrumen Pembungkaman
Nasywa Wafin mengungkap bahwa tindakan pengiriman kepala babi kepada jurnalis perempuan bukan sekadar bentuk teror, melainkan juga pelanggaran hak asasi manusia yang serius. Ia melihat fenomena ini sebagai bentuk pembungkaman sistematis terhadap suara-suara kritis, terutama yang datang dari perempuan.
“Teror ini adalah pesan yang jelas: diam atau terima akibatnya. Ini adalah cara kekuasaan menakut-nakuti mereka yang bersuara untuk kebenaran,” tegasnya. Ia juga mengkritik lemahnya perlindungan negara terhadap jurnalis, padahal kebebasan berekspresi telah dijamin oleh konstitusi.
Lebih jauh, simbol kepala babi dalam kasus ini dinilainya sebagai alat intimidasi yang keji dan seksis. “Ini bukan hanya ancaman fisik, tetapi juga psikologis, dan sangat gendered. Ini bentuk kekerasan yang secara sengaja diarahkan untuk mempermalukan dan merendahkan perempuan,” tambah Nasywa.
Meneguhkan Ruang Publik yang Inklusif
Kedua pembicara sepakat bahwa jurnalis perempuan tidak hanya membutuhkan perlindungan, tetapi juga pengakuan atas peran penting mereka dalam demokrasi. Ketiadaan ruang aman menciptakan ketimpangan dalam partisipasi publik, dan memperlebar jarak antara negara dan rakyat.
Diskusi ini menyuarakan urgensi pembaruan kebijakan serta penegakan hukum yang lebih berpihak pada korban. Hanya dengan ruang publik yang inklusif dan setara, keberanian untuk menyuarakan kebenaran dapat tumbuh subur—tanpa rasa takut, tanpa teror.