MU Cabang Serengan, Kampus Alit Bisaya Selangit
Oleh : Diharjo
“Al-jahlu lā yu‘rafu annahul jahlu”
Sebuah ungkapan berbahasa Arab yang seharusnya dengan mudah dibaca dan dimaknai oleh kawan-kawan mahasiswa, terlebih “para-para” dosen di kampus yang notabene beralmamater Islam.
Sempat ramai dan mencuat tinggi isu nasional mengenai inflasi dan permainan harga logam mulia. Klasemen liga korupsi nasional pun tak kalah membumbung tinggi, mirip dengan apa yang terjadi di salah satu kampus ternama Indonesia.
Penulis yang bodoh ini tidak mengatakan bahwa ada korupsi di kampus ternama tersebut—sebutlah IIM Surakarta, dan selanjutnya akan kami sebut sebagai MU cabang Serengan, menjiplak gaya tulisan Rojali.
Kawan-kawan tahu tentang mega proyek Danantara? Sedikit atau banyak, pasti para pembaca yang budiman ini tahu. Nah, pada 28 April kemarin, dalam acara town hall meeting Danantara, terjadi peristiwa yang tak biasa: Presiden yang terhormat, Bapak Prabowo Subianto, melarang seluruh media untuk merekam pidatonya. Alasannya adalah menjaga etika komunikasi saat menegur langsung para direksi BUMN.
Beliau berdalih atas nama etika. Namun, jika proyek ini menggunakan dana rakyat, berarti rakyat berhak tahu. Uang yang dititipkan dan dikelola negara, seharusnya disertai transparansi. Lantas, mengapa tidak ada? Lebih dari 1000 Triliun loh dananya.
Hal serupa terjadi di kampus MU cabang Serengan. Penulis berusaha semaksimal mungkin untuk tidak menuduh langsung oknum sebagai pelaku penggelapan dana (jika memang ada, semoga tidak ada). Tetapi, benarkah hal-hal seperti ini tidak bisa divalidasi dan ditransparansikan oleh sang mega kampus ini?
Jika boleh berandai-andai, maka penulis berharap suatu saat nanti MU cabang Serengan lebih megah daripada Oxford University, dan mahasiswanya lebih banyak dan lebih loyal daripada para Mancunian. Namun, hal ini terasa terlalu utopis jika tata kelola administrasi masih begitu-begitu saja; keuangan kampus masih eksklusif; dan seleksi tenaga pengajar masih asal—asal keluarga boleh masuk, tanpa mempertimbangkan kompetensi dan kapabilitas.
Sangat disayangkan jika kampus ini terus merendahkan dirinya. Padahal, ada banyak anak tangga yang bisa didaki untuk sedikit lebih tinggi: menghirup udara sejuk dan menikmati indahnya pemandangan.
Lagi-lagi momen evaluasi. Lagi-lagi kritik dilayangkan, tentu untuk perbaikan. Semoga mereka yang duduk di kursi kepemimpinan mau mendengar dan mau memperbaiki. Satu poin yang penulis perlu pertegas agar mudah dimengerti adalah:
Tata Kelola Keuangan
Tagihan-tagihan tak masuk akal, iuran tambahan di luar UKT, pemangkasan anggaran kemahasiswaan, efisiensi kesejahteraan karyawan, dan minimnya beasiswa dari MU cabang Serengan yang tak bisa dipertanggungjawabkan secara transparan. Ketika mahasiswa bertanya, mereka dibungkam dengan alasan klasik: etika dan kesopanan.
Tagihan yang tak masuk akal itu, antara lain:
Ujian lisan (komprehensif): Rp.500.000
Ujian skripsi (munaqasyah): Rp1.500.000
Biaya wisuda: Rp2.400.000
Seharusnya pihak kampus menjawab pertanyaan mahasiswa tentang keuangan. Kalau memang benar, mengapa harus ditutupi? Bukankah hal itu malah menimbulkan prasangka buruk?
Ini adalah uang mahasiswa. Masa iya, mahasiswa tidak boleh tahu ke mana uang mereka dialokasikan oleh kampus? Dengar-dengar uang tersebut dialihkan untuk pembangunan? Kalau benar, di mana bangunannya? Perlu dicatat: penulis tidak menyatakan bahwa alokasi dana mahasiswa untuk pembangunan adalah benar. Itu salah besar.
Mengapa transparansi penting, wahai petinggi MU cabang Serengan?
Karena mayoritas mahasiswa memilih kampus ini dengan pertimbangan biayanya yang murah. Namun nyatanya, biaya kampus ini sangat mahal—lebih mahal dari beberapa prodi di universitas swasta terbaik nomor satu di Indonesia, sebut saja UMS. Lantas apa ini marketing jebakan kampus untuk memikat mahasiswa?
Sebagi Epilog. Penulis teringat pada sebuah ungkapan dari seseorang yang bahkan tidak dikenal, katanya “Mencegah satu orang kuliah di IIM sama dengan menyelamatkan sebuah harapan dari orang tersebut.”
Ungkapan itu menjadi refleksi. Kalau memang hari ini kita berada di dalam goa yang dalam dan gelap gulita, maka cahaya sekecil apa pun akan terlihat. Mengapa masih enggan mendekat?
Penulis peduli dengan MU cabang Serengan. Penulis peduli dengan mahasiswanya. Penulis peduli dengan masa depan kampus ini.