BERITAOPINI.ID SURAKARTA JAWA TENGAH | Forum Komunikasi Keluarga Becak (FKKB) mendesak pemerintah kota Surakarta untuk memperhatikan nasibnya. Mafhum, ditengah situasi yang sarat dengan kecepatan, nasib pengemudi becak dirundung pilu.
Ketua FKKB mengharapkan kepada pemkot Solo memberikan dukungan promosi dan fasilitas layak pada (14/05/2025) di Rumah Dinas Loji Gandrung.
Di tengah derasnya aras transportasi yang serba canggih, para pengemudi becak tidak meminta belas kasihan, melainkan keadilan agar tetap eksis sebagai bagian dari wajah budaya dan wisata kota bengawan.
“Becak di Solo kini tak hanya memprihatinkan secara fisik, tapi juga posisinya dalam dunia wisata semakin terpinggirkan. Banyak pengayuh sudah sepuh, becaknya tak layak, dan kini makin kalah bersaing dengan transportasi online,” jelasnya.
FKKB mencatat bahwa sekitar tiga ratus hingga lima ratus pengayuh becak aktif di kota Surakarta. Mayoritas berusia 40 hingga 70 tahun. Para pengayuh becak mengharapkan konkritan pemkot Solo untuk menyediakan seragam, perbaikan becak hingga branding promosi.
“Kami ingin kembali menjadi bagian dari pengalaman wisata. Kalau becak-becak ini dipercantik dan kami diberi identitas yang jelas, mungkin wisatawan akan tertarik,” tambahnya.
Bersaing dengan Transportasi Modern, Becak Perlu Sentuhan Inovasi
Keberadaan ojek online, taksi daring, dan transportasi publik modern mafhum dikenal menyuguhkan efektivitas. Walakin, keresahan menyeruak saat potensi becak sebagai budaya transportasi penting untuk diperhatikan.
“Solo ini punya ciri khas. Jumlah becaknya paling banyak dibanding daerah lain. Para pengayuh datang dari berbagai daerah karena melihat peluang pariwisata. Sayangnya, kami belum difasilitasi secara optimal,” kata Sari.
Menanggapi aspirasi tersebut, Dinas Perhubungan Kota Solo menyatakan telah menggagas program becak wisata. Kepala Bidang Lalu Lintas Dishub Solo, Ari Wibowo, menyebut program ini telah berjalan di kawasan Benteng Vastenburg, melibatkan sekitar 40 pengayuh becak.
“Kami bentuk komunitas khusus, pengecatan ulang becak, pemberian stiker identitas wisata, dan seragam untuk pengayuhnya,” ujarnya.
Progam itu akan menkankan tarif resmi berkisar Rp. 15.000 hingga Rp. 50.000 tergantung jarak. Langkah ini untuk mengatasi kepastian pelanggan dalam menggunakan jasa becak.
Namun, Ari mengakui bahwa program ini belum berjalan sempurna. Masih ada pengayuh dari luar komunitas yang beroperasi tanpa pengawasan, serta belum tertatanya parkir becak dan sistem antrean penumpang.
“Kami terus benahi dan ke depan akan kami perluas ke komunitas lain. Harapannya becak bisa menjadi transportasi wisata yang tertata dan terpercaya,” pungkasnya.
Bukan hanya alat transportasi, becak di Solo adalah penanda sejarah, simbol kearifan lokal, dan bagian dari narasi kota. Harapan para pengayuh becak agar bisa hidup layak sembari melestarikan budaya adalah seruan agar pemerintah tak sekadar melihat efisiensi modern, tapi juga memelihara nilai tradisional yang memberi warna pada Solo sebagai kota budaya.