Example floating
Example floating
Example 468x60 Example 468x60 Example 468x60
BeritaJawa TengahKota Surakarta

Mantan Ketua GMNI Solo, Soroti Banjir Sumatera, Berikut Ulasannya

18
×

Mantan Ketua GMNI Solo, Soroti Banjir Sumatera, Berikut Ulasannya

Sebarkan artikel ini
Example 468x60

BERITAOPINI.ID SURAKARTA JATENG | Banjir bandang melanda Aceh dan beberapa daerah di Sumatra utara pada akhir November lalu. Hingga kini genangan banjir masih terlihat di beberapa daerah yang terdampak. Donasi banyak berdatangan untuk meringankan atas apa yang diderita oleh masyarakat terdampak.

 

Atas kejadian tersebut, Rahmad Hendor Saputro adalah Mantan Ketua Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia Cabang Surakarta menyoroti terkait dengan bencana Hidrologi yang mengakibatkan kerugian bagi masyrakat yang terdampak.

 

Dalam pemaparannya yang disodorkan kepada Beritaopini.id, Hendro menyoroti sebab musbab banjir yang ditilik dari beberapa periode. Menurut catatan Hendro, banjir di Sumatra pada tahun 2016 di daerah Provinsi Aceh dan Sumatra Utara terlihat beberapa titik banjir.

 

Kemudian berlanjut pada tahun 2017 dan 2020, di mana terjadi peristiwa serupa. Atas peristiwa tersebut, beberapa infrastruktur penting mengalami kerusakana, bahkan beberapa akses yang menjembatani laju perekonomian pun terhambat.

 

Hendro sapaannya, memberikan sekelumit jawaban atas gejala alam tersebut. “Dalam perspektif ekologis dan tata ruang, ada dua hal utama penyebab bencana hidrologi ini. pertama faktor cuaca ekstrim akibat perubahan iklim yang dipicu oleh perubahan bentang alam secara massif. Kedua, disebabkan oleh faktor konversi hutan dan lahan gambut menjadi perkebunan seperti tanaman sawit dan jenis monokultur lainya,” jelas Hendro.

 

Selanjutnya Hendro menyoroti terkait bentang alam. Menurutnya Bentang alam amat berpengaruh dalam menjaga stabilitas agar bersahabat untuk ditinggali.

 

“Ketika pohon-pohon dihutan hilang, kemampuan tanah untuk meyerap dan menahan udara serta air menjadi berkurang drastis. Tanah yang dulunya memiliki kemampuan infiltrasi tinggi berubah menjadi kawasan dengan limpasan permukaan besar. Inilah yang mempercepat terjadinya banjirdi dataran rendah dan longsordi kawasan perbukitan,” tambah Hendro.

 

Hendro yang kini melanjutkan studi di Magister Administrasi Publik, Universitas Sebelas Maret itu, turut pula menyoroti terkait izin atas tata kelola lahan di hutan belantara Sumatra.

 

“Di sisi lain, jika kita cermati menggunakan sudut pandang tata kelola dan kebijakan publik, dari bencana yang terjadi, menunjukkan adanya kegagalan kebijakan (Policy Failure). dimana pelaksanaan perizinan penggunaan lahan, dan pengawasan yang masih terfragmentas serta tidak teritegrasi antara sektor kehutanan, perkebunan, tata ruang, dan badan yang menangani mitigasi bencana. Akibatnya, kebijaka yang seharusnya memberikan perlindungan dan keadilan secara ekologis justru menghasilkan kawasan rawan bencana baru.”

 

Atas situasi tersebut Hendro belum pula memandang cukup dalam hal Mitigasi, akan tetapi perlu adanya sebuah langkah taktis dan evaluatif guna menghasilkan langkah tepat dalam memandang alam raya Sumatra.

Di samping itu, Hendro menjabar tiga aspek yang perlu diperhatikan, sebagai pijakan dalam kebijakan publik, agar tidak jatuh di dalam peristiwa yang serupa antara lain;

 

Pertama, kritik terhadap pendekatan ekonomi dan tata ruang yang pro – ekspansi. Banyak daerah di Sumatra yang masih menempatkan pertumbuhan ekonomi berbasis komoditas sebagai prioritas utama tanpa menimbang daya dukung lingkungan. Konsep seperti ini tidak hanya usang, namun juga kontraproduktif, dimana keuntungan jangka pendek harus tergadaikan dengan kerusakan ekologis dan sosial dalam jangka panjang. Pemerintah pusat dan daerah wajib menegaskan bahwa tata ruang bukan sekedar peta investasi, tetapi instrumen pengelolaan risiko.

 

Kedua, evaluasi terhadap proses perizinan dan pengawasan. Banjir di sumatra adalah contoh lemahnya fungsi kontrol negara terhadap konversi lahan. Wajib untuk dilakukan audit ekologis terhadap seluruh izin perkebunan dikawasan gambut dan hulu sungai. Tanpa evaluasi, kita akan berada dalam ancaman siklus bencana hidrologi yang lebih besar.

 

Ketiga, negara perlu berperan aktif dalam menerapkan kebijakan restorasi hutan terutama didaerah tangkapan air, serta mengintegrasikan mitigasi bencana dalam rencana tata ruang. Mendorong partisipasi publik dan penyampaian data informasi secara tranpasran, serta harus diperluas melalui berbagai media agar masyarakat turut serta mengawasi arah kebijakan.

 

Di sisi lain pemerintah daerah wajib menerapkan Risk Informed Spasial Planning atau pendekatan perencanaan tata ruang yang secara sistematis, mengintegrasikan pertimbangan risiko, terutama resiko bencana dan iklim kedalam proses pengambilan keputusan penggunaan lahan dan pengembangan wilayah. Bencana banjir dan longsor di Sumatra merupakan peringatan keras bahwa pembangunan yang mengabaikan ekologi akan menghasilkan resiko permanen.

Example 300250 Example 468x60 Example 300250

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *