Example floating
Example floating
Example 468x60
HeadlineJawa TengahKota Surakarta

Ruang Diskusi UDB: Ketika Permasalahan Buruh Menantang Kesadaran Kolektif Mahasiswa

176
×

Ruang Diskusi UDB: Ketika Permasalahan Buruh Menantang Kesadaran Kolektif Mahasiswa

Sebarkan artikel ini
Example 468x60

BERITAOPINI.IDSURAKARTA, Teaching Factory Universitas Duta Bangsa (UDB) menjadi saksi ruang diskusi kritis mahasiswa lintas organisasi dalam memperingati Hari Buruh Internasional. Bukan sekadar soal tanggal merah, Hari Buruh dibedah dari sejarah perjuangan hingga kondisi riil di Solo dan sekitarnya. (16/5/2025)

Kegiatan ini berlangsung dalam forum bertajuk “Ruang Diskusi BEM UDB x BEM FHB”, kolaborasi antara Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Duta Bangsa dengan Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum dan Bisnis. Forum yang dipimpin oleh Ketua Pelaksana, Sholiya, menghadirkan mahasiswa dari berbagai organisasi internal kampus dan menjadi wadah untuk membuka ruang kesadaran kolektif atas kondisi buruh saat ini. Diskusi dipantik oleh Maryana Angi Pratiwi dan Ahnaf Dzaky, yang mengarahkan jalannya forum ke berbagai sudut pandang kritis.

Pantikan Kritis, terhadap Nasib Buruh yang Miris

Hari Buruh bermula dari aksi buruh di Chicago pada 1 Mei 1886, menuntut kerja 8 jam sehari. Aksi itu memicu tragedi berdarah yang dikenal sebagai Haymarket Affair. Di Indonesia, peringatan ini baru ditetapkan sebagai hari libur nasional pada 2013 oleh Presiden SBY. Namun, mahasiswa mempertanyakan: apakah cukup hanya dengan satu hari libur dalam setahun?

Realitas hari ini masih jauh dari ideal. Di Solo, upah minimum rendah, jam kerja panjang, dan gelombang PHK besar-besaran di awal 2025—termasuk dari perusahaan besar seperti PT Sritex—memperburuk situasi. Efeknya domino: ekonomi lokal sekitar ikut terpukul. Warung makan sepi, kos-kosan kosong. Sistem outsourcing makin menekan buruh, terutama perempuan, dengan jam kerja tak menentu, upah minim, dan perlindungan hukum yang nyaris tak ada.

Marsinah, buruh perempuan yang dibunuh setelah menuntut haknya pada 1993, kembali disebut sebagai simbol perjuangan yang belum usai. Mahasiswa menegaskan bahwa buruh bukan sekadar pekerja, melainkan manusia yang layak mendapatkan perlakuan adil.

Diskusi Progresif, Picu Respon Proaktif

Azizah dari HMP TLM menyoroti peran konsumen dalam rantai sistem. Apakah mengejar diskon dan gratis ongkir merugikan buruh? Jawaban diskusi menyebut bahwa promosi lebih merupakan strategi perusahaan, dan tidak serta-merta menekan gaji buruh—namun kesadaran konsumen tetap penting dalam mendorong etika produksi dan distribusi.

Hafis dari BEM FIKES menyoroti praktik penahanan ijazah dan denda bagi buruh yang salat. Praktik ini dinilai sebagai bentuk kerja toxic yang merampas kebebasan dan mematikan mental. Buruh tidak ingin kaya, mereka hanya ingin hidup layak dan bermartabat.

Zaky dari HMP Hukum bertanya soal peran mahasiswa. Jawabannya tegas: kita sedang memulai dari sini. Kampus telah memfasilitasi ruang dan izin, tapi yang terpenting adalah peran aktif mahasiswa. “Belum tentu semua hadir, belum tentu semua mendengar, tapi tanggung jawab tetap ada: menyuarakan dan merangkul,” ujar salah satu peserta diskusi.

Diskusi ditutup dengan refleksi, mahasiswa bukan hanya agen perubahan dalam teori, tapi juga dalam aksi nyata. Suara kita mungkin tak selalu didengar, tapi diam bukan pilihan. Perjuangan buruh adalah juga perjuangan kita—sebab keadilan sosial tidak bisa tumbuh di atas penderitaan mereka yang dipaksa diam. Dan kita tidak bisa mengaku berpendidikan, jika membiarkan ketidakadilan terjadi di depan mata tanpa berkata apa-apa.

Example 300250

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *