BERITAOPINI.ID KUPANG NTT | Ratusan buruh dari berbagai perusahaan di Kota Kupang dan sekitarnya menunjukkan persiapan matang dalam menyambut peringatan Hari Buruh Internasional tahun ini. Melalui pantauan langsung di Sekretariat Korwil Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI) NTT pada Kamis, 1 Mei 2025 pagi, memperlihatkan suasana penuh semangat dengan berkibarnya bendera organisasi, mobil komando berhiaskan spanduk penolakan terhadap Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja.
Aksi ini diorganisir oleh Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI) Nusa Tenggara Timur (NTT), di mana ratusan buruh berkumpul di sekretariat mereka dengan tujuan menyuarakan ketidakadilan terkait implementasi Undang-Undang Cipta Kerja.
Sebelum bergerak menuju titik konsentrasi di Lapangan Kantor Polda NTT, yang telah difasilitasi oleh Kapolda NTT dan Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkopimda), massa buruh terlihat khusyuk dalam doa bersama. Semangat solidaritas juga terpancar melalui yel-yel perjuangan yang mereka serukan.
Jibrael Mafo, Ketua DPC SBSI Kota Kupang, dalam keterangannya kepada media ini mengungkapkan bahwa aksi demonstrasi ini merupakan respons atas berbagai ketimpangan hak dan kewajiban antara pekerja dan pemberi kerja yang selama ini mereka alami. Jibrael menyoroti minimnya implementasi aturan-aturan ketenagakerjaan yang telah disepakati, termasuk persoalan upah yang kerap kali tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
“Masih banyak tempat yang menerapkan upah kerja tidak sesuai dengan ketentuan. Padahal jelas setiap tahun itu ada kesepakatan yang dibangun oleh negara melalui dewan pengupahan dari tingkat nasional hingga tingkat daerah yang tentunya sudah ditandatangani oleh presiden dan kepala-kepala daerah, tetapi eksekusinya itu sebagian besar tidak dilaksanakan oleh pemberi kerja,” tegas Jibrael.
Lebih lanjut, Jibrael menyoroti lemahnya pengawasan dari pihak pemerintah terhadap praktik-praktik pelanggaran hak pekerja. Menurutnya, kondisi ini menciptakan iklim intimidasi di lingkungan kerja, di mana buruh yang berani menyuarakan ketidakadilan berpotensi menghadapi ancaman Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) atau pemberhentian sepihak.
“Untuk itu kami merasa bahwa hak dari setiap pekerja itu seolah tidak ada dan lebih cenderung ada dalam situasi yang terintimidasi,” lanjutnya dengan nada prihatin.
Dalam aksi kali ini, terdapat perbedaan signifikan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Jika biasanya demonstrasi bersifat monolog tanpa kehadiran perwakilan pemerintah untuk berdialog, kali ini Kapolda NTT bersama seluruh Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) memfasilitasi pertemuan di Lapangan Polda NTT. Janji untuk menghadirkan seluruh unsur Forkopimda inilah yang menjadi harapan bagi para buruh.
“Kami berharap apa yang dijanjikan oleh pak Kapolda bahwa akan menghadirkan semua Forkopimda itu benar. Apabila tidak sesuai, tentu kami sangat kecewa dan pastinya kami kembali ke konsep awal untuk lakukan demonstrasi di jalanan,” ancam Jibrael, menyiratkan keraguan yang mendalam terhadap komitmen pemerintah daerah dalam menyelesaikan persoalan buruh.
Tuntutan yang disuarakan oleh para buruh terbilang mendasar: penegakan aturan dan hukum ketenagakerjaan yang selama ini dinilai lemah. Mereka menduga adanya kompromi antara oknum-oknum tertentu dengan pihak kapitalis yang menyebabkan aturan-aturan yang seharusnya melindungi hak pekerja menjadi tumpul.
“Kami melihat, masih banyak aturan yang dikompromikan oleh oknum-oknum tertentu dan lebih menguntungkan pihak kapitalis. Untuk itu, kepada pimpinan daerah, baik Bapak Gubernur, Bapak Walikota dan semua Forkopimda dapat meningkatkan pengawasan terkait dengan setiap penyimpangan yang dilakukan oleh si pemberi kerja,” seru Jibrael.
Para buruh mendesak agar pengawasan dilakukan secara tripartit, melibatkan unsur pemerintah, pengusaha, dan tenaga kerja, sebagai upaya untuk menciptakan keadilan dan mencegah potensi penyimpangan. Momentum Hari Buruh ini dianggap sebagai kesempatan krusial untuk menyuarakan aspirasi yang telah lama terpendam.
Sementara itu, Daud Mboeik, Ketua Korwil KSBSI NTT, dalam wawancaranya menyampaikan apresiasi atas fasilitasi yang diberikan oleh Kapolda NTT. Namun, ia juga menegaskan bahwa pertemuan yang dijanjikan harus benar-benar terealisasi dengan kehadiran Gubernur NTT, Ketua DPRD Provinsi, Kepala Kejaksaan Tinggi (Kejati) NTT, pimpinan PT Pelindo, pimpinan PT Angkasa Pura, Walikota Kupang, Ketua DPRD Kota Kupang, serta Kepala BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan.
Mboeik mengungkapkan tiga tuntutan utama yang akan disampaikan dalam dialog tersebut. Pertama, adalah kasus pemberangusan kebebasan berserikat yang diduga dialami oleh pekerja dan buruh di PT Neonbastik. Menurutnya, kasus ini menjadi simbol represifitas terhadap hak-hak pekerja untuk berorganisasi dan menyuarakan kepentingan mereka.
“Kasus di Neonbastik yaitu pemberhangusan kebebasan hak berserikat bagi pekerja dan buruh yang terlibat aktif sebagai pengurus dan anggota kami,” tegas Mboeik, menunjukkan keprihatinan mendalam terhadap pelanggaran hak asasi buruh di wilayah NTT.
Tuntutan kedua adalah penghentian upaya kriminalisasi terhadap pengurus dan anggota serikat buruh yang selama ini berjuang untuk hak-hak pekerja. Mboeik menilai bahwa upaya-upaya kriminalisasi ini merupakan bentuk pembungkaman terhadap suara kritis buruh dan menghambat perjuangan mereka untuk mendapatkan keadilan.
“Kedua, ada upaya-upaya kriminalisasi bagi kami pengurus dan anggota dalam memperjuangkan hak-hak pekerja buruh yang belum terpenuhi selama ini,” ujarnya.
Tuntutan ketiga adalah penyelesaian berbagai kasus ketenagakerjaan yang selama ini masih “mengendap” di pihak kepolisian. Mboeik berharap adanya efek jera bagi para pengusaha yang melanggar aturan ketenagakerjaan, sehingga tercipta hubungan industrial yang lebih baik di masa depan.
“Ketiga, masih banyak kasus ketenagakerjaan yang selama ini masih mengendap di pihak kepolisian dengan harapan supaya ada efek jerah supaya kedepan ini hubungan industrial dapat berlangsung lebih baik,” tandasnya.
Selain itu, KSBSI NTT juga menuntut peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) pekerja dan netralitas dari Dinas Tenaga Kerja (Disnaker), khususnya mediator dan pengawas, agar masalah-masalah ketenagakerjaan yang menumpuk dapat diselesaikan sesuai dengan tenggat waktu yang telah ditetapkan oleh undang-undang.
Aksi Hari Buruh di Kupang kali ini tidak hanya menjadi momentum untuk menyuarakan tuntutan konkret terkait kesejahteraan dan hak-hak buruh, tetapi juga menjadi ujian bagi komitmen pemerintah daerah dan aparat penegak hukum dalam menanggapi aspirasi buruh.