BERITAOPINI.ID KUPANG NUSA TENGGARA TIMUR | Arus kecaman dan keprihatinan meluas menyusul serangkaian pernyataan kontroversial yang dilontarkan oleh Bupati Kabupaten Kupang, Yosef Lede, terkait rencana relokasi warga Pulau Kera. Tidak hanya diduga melontarkan ancaman kekerasan, Bupati Lede secara terbuka mengancam individu serta pihak terkait dari luar Kabupaten Kupang yang menunjukkan solidaritas dan memberikan dukungan kepada komunitas nelayan Pulau Kera yang terancam pengusiran paksa.
Dalam rekaman pernyataan Bupati Kupang yang disampaikan di hadapan sejumlah aparat desa di Desa Pantulan, Kecamatan Sulamu pada Rabu, 16 April 2025, Bupati Lede dengan nada diskriminatif memperingatkan keras pihak-pihak yang tidak memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) Kabupaten Kupang untuk tidak mencampuri urusan relokasi warga Pulau Kera.
“Yang tidak ada KTP Kupang, suruh pulang, pulang. Beta kasih tahu memang, jangan macam-macam, kalau beta sudah kasih ingat baik-baik jangan cari gara-gara,” ucap Bupati Kupang, Yos Lede.
Pernyataan ini sontak menuai reaksi keras dari berbagai elemen masyarakat sipil, pemerhati hak asasi manusia, hingga kalangan pemuda Nusa Tenggara Timur. Tindakan Bupati Lede dinilai sebagai bentuk arogansi kekuasaan yang tidak hanya mengabaikan prinsip-prinsip kemanusiaan, tetapi juga berpotensi melanggar hak asasi manusia, khususnya hak untuk memberikan bantuan dan dukungan kepada sesama yang membutuhkan, tanpa diskriminasi berdasarkan batasan administratif kependudukan.
Sikap intoleran Bupati Lede terhadap pihak-pihak yang ingin menyuarakan kepedulian dan memberikan uluran tangan kepada warga Pulau Kera semakin memperkuat dugaan adanya upaya sistematis untuk mengisolasi komunitas nelayan tersebut. Langkah ini diyakini bertujuan untuk membatasi akses mereka terhadap bantuan hukum, advokasi, dukungan moral, serta sorotan publik yang lebih luas.
Kekhawatiran masyarakat semakin meningkat dengan rencana Bupati Lede untuk turun langsung ke Pulau Kera setelah perayaan Paskah minggu depan. Dalam rekaman uacapan Bupati Kupang yang beredar, bahwa dalam kunjungan tersebut, Bupati akan berkoordinasi dengan Komandan Batalyon Infanteri (Danyonif) untuk mengerahkan dua truk pasukan. Rencana pengerahan aparat militer ini dipandang sebagai taktik intimidasi yang nyata dan mengindikasikan preferensi pemerintah daerah terhadap pendekatan represif dibandingkan dengan dialog yang konstruktif dan berlandaskan prinsip-prinsip kemanusiaan.
Pernyataan yang paling mencengangkan dan memicu kecaman keras adalah ancaman eksplisit Bupati Lede terhadap warga pendatang yang berani bersuara atau memberikan dukungan kepada warga Pulau Kera.
“Dan itu yang sonde ada KTP Kupang jangan coba-coba baomong, beta kasih turun mandi di laut sana,” ancamnya dengan nada merendahkan. Ancaman ini tidak hanya bersifat intimidatif dan merendahkan martabat manusia, tetapi juga mengandung unsur kekerasan verbal dan berpotensi melanggar prinsip kesetaraan di depan hukum serta hak kebebasan berpendapat yang dijamin oleh konstitusi.
Ancaman ini memunculkan pertanyaan mendasar mengenai komitmen pemerintah daerah Kabupaten Kupang terhadap nilai-nilai demokrasi, supremasi hukum, hak asasi manusia, dan kebebasan berekspresi. Tindakan menghalang-halangi pihak lain untuk memberikan dukungan kemanusiaan atau menyuarakan keprihatinan terhadap nasib warga Pulau Kera dinilai sebagai preseden buruk dalam tata kelola pemerintahan yang seharusnya menjunjung tinggi prinsip-prinsip inklusivitas, partisipasi publik, dan penghormatan terhadap hak-hak warga negara.
Hamdan, seorang perwakilan warga Pulau Kera, mengungkapkan kekecewaannya atas sikap Bupati Lede yang justru menuduhnya sebagai provokator hanya karena berupaya memperjuangkan hak-hak masyarakatnya. Tudingan ini terasa semakin tidak adil karena disampaikan di hadapan aparat kepolisian.
“Saya justru dibilang provokator, dan siap diborgol. Pernyataan itu bahkan disampaikan di depan Kapolres Kabupaten Kupang. Kapolres sempat tertawa mendengar hal itu,” ungkap Hamdan dengan nada getir.
Reaksi Kapolres Kabupaten Kupang yang dikabarkan tertawa saat mendengar ancaman terhadap warganya sendiri dinilai oleh berbagai pihak sebagai bentuk ketidakpekaan yang mencoreng citra aparat penegak hukum terhadap situasi genting yang dihadapi warga Pulau Kera. Sikap ini justru menimbulkan pertanyaan mengenai netralitas dan keberpihakan aparat dalam menangani konflik agraria dan kemanusiaan.
Kecaman Bupati Lede terhadap individu yang tidak memiliki KTP Kupang untuk tidak memberikan dukungan kepada warga Pulau Kera telah memicu reaksi keras dan solidaritas dari berbagai kalangan. Organisasi masyarakat sipil, aktivis kemanusiaan, dan pemuda Nusa Tenggara Timur bersatu mengecam pernyataan diskriminatif tersebut. Mereka menegaskan bahwa KTP seharusnya tidak menjadi batasan untuk menunjukkan solidaritas dan kepedulian terhadap sesama warga negara yang sedang menghadapi ancaman penggusuran dan kehilangan mata pencaharian.
“Ini adalah tindakan yang sangat diskriminatif dan tidak manusiawi. Hak untuk memberikan bantuan dan dukungan tidak bisa dibatasi oleh identitas kependudukan,” tegas Che Leki, seorang aktivis kemanusiaan yang juga berkecimpung dalam Organisasi Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Ia menambahkan bahwa argumentasi Bupati Lede menunjukkan arogansi kekuasaan yang tidak pantas bagi seorang pejabat publik.
“Selaku Bupati seharusnya tidak haus akan kekuasaan yang baru berjalan 3-4 bulan ini, ia seharusnya menjadi penetral ketika ada ketimpangan di tengah sosial, dan ia juga tidak harus menjadi dalang dalam pertempuran sosial. Tapi ketika ada Bupati yang berwatak arogansi, maka perlawanan Rakyat Jelata juga kini akan menjadi Api Darah Perjuangan,” tandas Che Leki pada Jumat, 18 April 2025 saat diwawancarai awak media ini.
Lebih lanjut, Che Leki menegaskan bahwa perlawanan terhadap rencana relokasi paksa ini tidak hanya akan diperjuangkan oleh masyarakat Kabupaten Kupang, tetapi juga akan melibatkan berbagai elemen masyarakat dari luar kabupaten sebagai wujud solidaritas kemanusiaan.
“Kami sampaikan sekali lagi, bahwa perlawanan ini bukan hanya di perjuangkan oleh Masyarakat Kabupaten Kupang, tapi akan kami datangkan berbagai macam masyarakat dari luar kabupaten Kupang untuk sama-sama melakukan perjuangan. Ingat! Kemanusiaan di atas batas wilayah bukan sebatas KTP,” tandasnya dengan lantang.
Ia menegaskan, “Untuk menjadi manusia sejati dan utuh, ia tidak harus menjadi penindas buat manusia lain. Tak harus menjadi pejabat untuk menjadi jahat, sebab perlawanan akan selalu hidup dalam lingkaran penjahat.”
Hingga berita ini diturunkan, belum ada klarifikasi lebih lanjut dari Bupati Yosef Lede terkait maksud dan tujuan dari pernyataan-pernyataan kontroversialnya tersebut. Namun, dampak dari pernyataan ini telah menciptakan ketegangan dan ketakutan yang mendalam di kalangan warga Pulau Kera serta menimbulkan keprihatinan luas di tingkat regional dan nasional.
Publik menanti adanya penjelasan yang transparan dan bertanggung jawab dari pemerintah daerah Kabupaten Kupang terkait situasi yang semakin memanas ini, serta langkah konkret untuk mengedepankan dialog yang humanis dan menghormati hak-hak seluruh warga negara.