BERITAOPINI.ID SURAKARTA JATENG | Kalimat itu terucap lirih dari seorang penonton yang berdiri di tengah kerumunan, bukan di luar naskah, melainkan sebagai bagian dari pementasan. Di panggung, batas antara aktor dan penonton sengaja dikaburkan. Malam itu, teater tidak hanya dipentaskan, tapi dihidupkan bersama.
Di Sanggar Pasinaon Pelangi, Kamis malam (17/04), Group Teater Bakat kembali menghidupkan sejarah lewat pertunjukan bertajuk Naar De Republiek: Menelusuri Kembali Makna Republik. Sebuah lakon yang tidak hanya membicarakan republik dalam konteks masa lalu, tapi memanggil kita untuk menafsir ulang hari ini—dan esok.
Pertunjukan ini akan digelar kembali pada Senin (21/04) di UIN Raden Mas Said Surakarta. Dua lokasi berbeda, satu napas yang sama: menggugah kesadaran tentang peran rakyat dalam lahirnya sebuah bangsa.
Bukan Sekadar Naskah, Ini Undangan untuk Berpikir
Sutradara D.S. Aji, yang akrab disapa Suro, merobek pakem konvensional panggung. Ia menyelipkan semangat post-realis, mengizinkan penonton melontarkan gagasan dalam salah satu adegan sidang rakyat. Teater bukan lagi kotak tertutup—ia menjadi medan dialog.
“Salah satu yang memantik kami adalah Tan Malaka,” ujar Suro. Tokoh revolusioner yang sering diabaikan sejarah resmi ini menjadi inspirasi pementasan. Semangatnya untuk “Republik 100 persen” menggema dalam setiap adegan, mengalir dari kata, kostum, hingga gestur tubuh para pemeran.
Latar waktu diangkat dari medio April 1945, masa krusial ketika gagasan republik mulai dibentuk dalam ruang formal: pembentukan Dokuritsu Junbi Cosakai atau BPUPKI. Namun dalam pertunjukan ini, sejarah digali dari sisi rakyat kecil. Mereka yang namanya tak tercatat di buku pelajaran, tapi menyimpan bara semangat yang sama.
Di panggung, keragaman budaya tampil dalam rupa busana: kebaya Jawa, Qipao Tionghoa, hingga baju pangsi Betawi. Semua bersatu dalam satu panggung, satu suara: rakyat yang ingin menentukan nasib bangsanya sendiri.
Ketika Penonton Menjadi Pemain
Adegan sidang menjadi titik klimaks. Penonton tak lagi hanya menyaksikan, mereka ikut menyuarakan pendapat. Ada yang mengusulkan republik Islam, ada yang memimpikan federasi, tak sedikit yang bersikukuh pada republik rakyat. Gagasan-gagasan meluncur, terkadang bersinggungan, kadang saling menyela. Sebuah miniatur republik dalam bentuk teater.
Hingga akhirnya, dentuman—adegan penyerbuan tentara Jepang membubarkan sidang. Tapi justru di titik inilah makna paling kuat muncul: bahwa perjuangan untuk republik belum selesai. Bahwa suara rakyat harus terus hidup, bahkan ketika dibungkam.
Naar De Republiek bukan pertunjukan yang selesai dalam satu malam. Ia membuka ruang refleksi: apa sebenarnya makna republik hari ini? Apakah kita masih merawat semangat partisipasi rakyat? Atau justru menjauh dari cita-cita awal kemerdekaan?
Pertunjukan ini mengajak kita tidak hanya mengingat, tapi juga menggugat. Karena republik, sejatinya, bukan hanya soal masa lalu. Ia adalah janji—yang harus terus diperjuangkan hari ini.