BERITAOPINI.ID KUPANG NTT | Polemik rencana relokasi masyarakat suku Bajau dari Pulau Kera terus bergulir. Kali ini dengan sentilan dari Pengamat Lingkungan Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang, Dr. Hamzah H. Wulakada. Menanggapi pernyataan Bupati Kupang, Yosef Lede, yang diduga mengklaim mendapat perintah langsung dari Presiden terkait relokasi tersebut, Dr. Hamzah tanpa ragu menyebut klaim itu “terlalu naif” bagi seorang kepala negara.
Dalam wawancara di ruang kerjanya pada Rabu, 23 April 2025, Dr. Hamzah dengan nada skeptis menyatakan, “Semua orang kemudian klaim, sekarang baru bilang perintah presiden. Presiden tidak urus barang remeh temeh begitu.”
Beliau menilai, urusan relokasi skala kabupaten, apalagi yang menyangkut komunitas kecil seperti suku Bajau di Pulau Kera, terlalu mikro untuk menjadi perhatian langsung seorang presiden.
Lebih lanjut, Dr. Hamzah menekankan bahwa sekalipun perintah itu benar adanya, mekanisme dan regulasi tertulis tetaplah sebuah keharusan. Ia berpendapat bahwa sebuah instruksi dari presiden, apalagi terkait isu sensitif seperti relokasi masyarakat, pastilah akan ditindaklanjuti dengan aturan yang jelas dan terdokumentasi.
“Sekalipun presiden yang omong, tentu ditindak lanjuti dengan aturan tertulis kalau betul-betul itu instruksi. Tapi kan sampai hari ini kita tidak dengar omongan itu, jadi ngak usah berlebihan lah mengklaim-klaim,” tegasnya.
Beliau juga menambahkan, jika memang klaim tersebut benar adanya, tentu dasar hukum yang konkrit berupa Instruksi Presiden (Inpres) atau Peraturan Presiden (Perpres) dapat ditunjukan.
“Urusan Kabupaten Kupang ni, aduh terlalu ‘naif’ seorang presiden untuk urus barang kecil begitu,” cetusnya lagi, meragukan validitas klaim Bupati.
Tak hanya menyoroti klaim perintah presiden, Dr. Hamzah juga menyinggung kondisi riil masyarakat Kabupaten Kupang. Ia menilai, di tengah kesulitan ekonomi yang masih dihadapi masyarakat, tindakan yang justru menimbulkan keresahan psikologis adalah kontraproduktif.
“Untuk makan saja masyarakat masih susah. Kalau hadir hanya membuat keresahan masyarakat kecil, untuk apa. Mereka hanya butuh kenyaman psikologi. Saya sarankan pak Bupati, baiknya satu tahun awal ini rekonsiliasi dulu,” pintahnya dengan nada prihatin dan menyarankan pendekatan yang lebih humanis serta mengedepankan kenyamanan masyarakat.
Sebagai seorang ahli tata ruang dan lingkungan, Dr. Hamzah menyoroti landasan regulasi yang digunakan Pemerintah Kabupaten Kupang dalam merencanakan relokasi. Menurutnya, acuan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Tahun 1993 yang diduga menjadi dasar kebijakan tersebut sudah sangat usang.
“Mungkin pak bupati butuh bijaksana juga untuk membaca, rencana tata ruang itu harus diupgret karena ada periodenya. Tahun 1993 itu sudah sangat usang. Kondisi ruang sudah bergeser jauh puluhan tahun. Setiap 5 tahun, perencanaan daerah harus disesuaikan dan diselaraskan,” jelasnya, memberikan pemahaman mendasar terkait pentingnya pembaruan regulasi.
Beliau mengingatkan bahwa RTRW Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) yang baru saja diterbitkan seharusnya menjadi acuan, dan karenanya perlu ada penyelarasan di tingkat kabupaten. Jika memang ditemukan rencana konservasi di Pulau Kera, Dr. Hamzah menyarankan pembentukan tim lintas sektor untuk mengkaji ulang peruntukan ruang secara komprehensif, melibatkan berbagai pihak termasuk masyarakat setempat.
“Ruangnya sudah bergeser, kondisi sosiologisnya juga sudah bergeser, sehingga baiknya mungkin ada daerah-daerah lainnya yang bisa didorong menjadi daerah strategis nasional untuk merespon kebijakan pusat,” ujarnya, membuka opsi alternatif yang lebih konstruktif.
Dr. Hamzah bahkan memberikan contoh konkret potensi daerah lain di Kabupaten Kupang yang bisa dikembangkan sebagai kawasan strategis nasional. Ia menyebut Teluk Kupang yang berpotensi menjadi pusat industri garam nasional, serta kawasan hutan di Amarasi Selatan yang dapat dioptimalkan sebagai pemasok by-diesel untuk kebutuhan Pembangkit Listrik Negara (PLN), mengurangi ketergantungan pada batu bara.
“Terkait tata ruang kabupaten ini, harusnya banyak hal yang dibicarakan bahkan lintas sektor. Kita harus jujur bahwa jantung sumber air bersih Kota Kupang ini bergantung pada Kabupaten Kupang dengan tingkat konsumsinya lebih dari 60 persen. Relasi ini kalau dibangun tentu saling menguntungkan,” tegasnya, menyoroti pentingnya sinergi antar wilayah.
Lebih jauh, Dr. Hamzah melihat potensi besar dalam membangun relasi ekonomi yang saling menguntungkan antara Kabupaten Kupang dan Kota Kupang. Ia berpendapat, jika potensi sumber daya di kabupaten dapat dimaksimalkan, maka perputaran uang masyarakat Kota Kupang dapat mengalir ke kabupaten.
“Apabila terjalin relasi yang baik, uang masyarakat Kota Kupang ini dapat tersedot ke sana. Daripada kami beli beras, telur, ayam dari luar, baiknya bapak punya tugas ini menyiapkan masyarakat dan suplay kasih kami,” tawar Dr. Hamzah, menawarkan solusi ekonomi yang saling menguntungkan.
Lebih jauh, Dr. Hamzah memberikan pandangan alternatif terkait investasi di Kabupaten Kupang. Ia menyarankan agar pengusaha seperti Pitobi Grup lebih bijaksana jika ingin berinvestasi dengan membangun hotel di wilayah Oelamasi sebagai pusat ekonomi kabupaten, yang dinilai akan memberikan dampak ekonomi yang lebih signifikan dan merata dibandingkan investasi di Pulau Kera.
“Pak bupati bantu saja buka ruang investasi yang bisa mengakomodasi masyarakat lokal untuk bekerja. Jauh lebih bijaksana kalau dibangun hotel di sana, supaya aktifitas Pemkab bisa dimanfaatkan dan tentu jauh lebih menguntungkan. Selama itu kegiatan Kabupaten Kupang pakainya Hotel NEO, kalau secara aturan harusnya mereka tidak boleh,” imbuhnya, menyoroti potensi pelanggaran tata ruang oleh pemerintah daerah sendiri.
Sebagai penutup, Dr. Hamzah menekankan pentingnya melibatkan masyarakat adat dan berbagai kelompok besar di Kabupaten Kupang dalam proses pengambilan keputusan terkait tata ruang. Ia berharap adanya dialog konstruktif antara masyarakat dan Bupati untuk mencari solusi terbaik yang mengakomodasi kepentingan semua pihak dan sesuai dengan regulasi yang berlaku.